JIA YOU

2014-05-25 / Alfrisma Riswandari / JIA YOU / Indonesia 印尼 / Erin Cipta

JIA YOU


Cerpen oleh : Alfrisma Riswandari


"Aku nggak yakin bisa, Mbak. Aku nggak punya teman, mana ada yang mau memberi voting untuk tulisanku," kata Risma.

"Terus, aku ini apa? Bukan teman? Kamu belum mencoba, dari mana kamu tahu kalau semua itu nggak mungkin?" tanya Erin lagi. " Ayolah, Ris. Masih ada waktu satu minggu, kamu pasti bisa."

"Aku saja tidak tahu apa yang akan aku tulis, Mbak." Risma menarik nafas panjang.

"Apa saja, kamu bisa menulis dengan bebas."

"Tapi, Mbak. Dalam keadaan seperti ini, aku sama sekali tidak ada feeling untuk menulis. Tanganku juga tidak sekuat dulu." Risma memandang kedua belah tangannya.

"Ris, kalau kamu merasa sakit, kamu bisa memeriksakan diri. Kita kerja di Taiwan punya banyak keuntungan, ada kartu kesehatan yang memudahkan kita untuk berobat. Apa lagi yang kamu resahkan?" Suara Erin terdengar sedikit kecewa.

"Aku takut penyakitku parah, Mbak. Aku juga takut dipulangkan, jika ketahuan sakit," jawab Risma lirih.

"Ya Allah, Ris. Jangan berfikir negatif, belum tentu dugaanmu itu benar. Sebenarnya, penyakit utama yang kamu hadapi itu adalah rasa malas dan tidak percaya diri. Padahal kamu punya banyak waktu luang yang bisa dimanfaatkan," tutur Erin.

Risma semakin terlibat pembicaraan panjang dengan Erin, seorang teman yang dikenalnya melalui facebook. Risma sangat mengagumi temannya yang satu ini, walaupun mereka belum pernah bertemu. Tulisan-tulisan Erin banyak memberikan kejutan yang tidak terduga, itulah yang Risma sukai.

Selesai mengobrol, Risma kembali membuka beranda facebooknya untuk sekedar melihat update teman-teman dunia mayanya. Tiba-tiba matanya terpana pada sebuah foto.

Orang yang gagal, selalu mencari alasan untuk berhenti. Sedangkan orang yang sukses akan berhenti mencari-cari alasan.

Risma mamandangi foto cover sebuah majalah yang diunggah oleh salah satu temannya di facebook.

Ting ....

Bunyi pemberitahuan pesan di whatsapp membuyarkan lamunannya.

"Bagaimana, Ris. Sudah lihat foto yang aku unggah?" tanya Edi, teman yang mengunggah foto majalah tadi.

"Sudah, mas." Risma membalasnya singkat.

"Renungkan baik-baik. Aku tahu kamu pandai, pasti dapat memahami apa maksudnya," balas Edi.

"Iya, mas. Terima kasih." Risma memalingkan pandangannya pada kertas-kertas yang berserakan di atas mejanya. Begitu banyak ide-ide yang dia tuliskan pada kertas-kertas itu. Namun tidak satupun dia kembangkan menjadi sebuah cerpen atau puisi. Memang sudah beberapa bulan ini Risma berhenti menulis, semangatnya lenyap begitu saja tanpa alasan. Risma paham, dengan apa maksud Edi mengunggah foto majalah tadi. Dia juga sadar, selama ini dia hanya lari dari menulis dan melimpahkan semua alasan kepada rasa sakit yang dirasakannya.

"Haaaah! Menyebalkan!" gerutu Risma sambil mengumpulkan semua kertas itu lalu memasukkannya ke dalam kotak kecil yang ada di bawah mejanya.

Dia menjejali telinganya dengan earophone, lalu mulai memutar musik mp3. Sebelum beranjak ke dapur untuk meneruskan pekerjaannya, Risma melongok ke kamar kakek yang di rawatnya. Lelaki tua itu nampak tidur dengan pulas, sementara istrinya juga tengah terlelap di kamar lain di sebelah kamar kakek. Dia menghembuskan nafas lega, "Aku bisa kerja dengan tenang," bisiknya.

Namun ternyata Risma masih saja tidak tenang. Dia sadar, kini kemampuan serta semangat menulisnya tidak seperti dulu lagi. Sekarang dia sudah memutuskan untuk berhenti menulis, Risma merasa belum pantas di sebut sebagai penulis. Dia selalu menganggap kalau karyanya yang di muat itu hanya sebuah kebetulan saja. Namun ada saja teman yang mencoba membuatnya berubah pikiran.

Dia masih ingat percakapannya dengan Erin beberapa waktu lalu. Erin dan Edi adalah sepasang suami istri, mereka selalu memberikan semangat kepada Risma. Walaupun hanya teman di dunia maya, tapi selalu memberikan dukungan melebihi teman di dunia nyata.

"Ibarat burung yang hendak belajar terbang, apakah dia akan berhenti terbang saat terjatuh? Tidak, dia akan bangkit lagi. Mencoba dan mencoba hingga sayapnya kuat mengarungi angkasa. Kamu juga harus begitu Ris, jangan patah semangat. Jia you!" Itu pesan semangat dari Erin yang selalu terngiang di benak Risma. Tapi entah mengapa, rasanya masih begitu berat untuk benar-benar kembali menulis.

Lamunan Risma buyar saat mendengar suara batuk kakek. "Ah konsentrasi kerja lebih penting," bisik Risma lalu bergegas ke kamar kakek untuk melihat keadaan lelaki tua yang dirawatnya itu.

Malam harinya Risma terlihat masih bimbang, hatinya dipenuhi dengan berbagai keresahan. Dia sengaja turun lebih awal untuk menunggu mobil sampah. Dia berkali-kali menghembuskan nafas panjang, sambil memandangi orang yang berlalu-lalang di depan apartemen.

"Kenapa, Ris?" sapa Resti, teman yang tinggal satu apartemen dengan Risma.

"Galau," jawab Risma singkat.

"Waduh, malming kok galau sih." Resti tertawa geli melihat bibir Risma yang monyong sepanjang 2 cm itu.

"Mau nulis, nggak semangat."

"Ah kamu ini buat apa mikirin itu, yang penting kerjaan beres gaji lancar. Kalau aku sih masalah tulis menulis udah nggak telaten, malas. Kita ke sini kan buat kerja, iya to." Resti menepuk pundak Risma yang hanya mengangguk-anggukkan kepala.

"Halo, warga negara." Tiba-tiba datang Esy menyapa mereka berdua. Esy juga teman Risma, baru 4 bulan dia bekerja untuk merawat seorang kakek yang pikun. Gadis dari Indramayu itu sangat dekat dengan Risma. Hampir setiap malam, mereka berbincang melalui telepon.

"Mbak Ris, mana sambal gorengnya?" tanya Esy seraya menggelayut manja di pundak Risma.

"Sambal goreng apa?" Dahi Risma nampak berkerut.

"Katanya dapat kiriman dari ibunya? Mana?" Todong Esy lagi.

"Hm ... kamu tahu dari mana?" Risma memincingkan sebelah matanya karena heran.

"Ada deh, kasih tahu nggak ya?" canda Esy membuat Risma tersenyum simpul.

"Kamu ini bisa aja. Sambal gorengnya masih di rumah temanku, belum kuambil." Esy langsung cemberut mendengarnya.

"Ah pelit,"

"Yee dibilangin nggak percaya," Risma mencubit hidung Esy, tapi yang dicubit berkelit dengan gesit.

"Tapi janji ya, minta." Esy mengulurkan tangan kanannya.

"Sip," jawab Risma sambil menepuk tangan temannya itu.

"Eh ngomong-ngomong pakai jaket baru. Hm kok biru lagi sih, apa nggak bosan?" tanya Esy mengamati jaket yang sedang dipakai Risma. "Forum Lingkar Pena Taiwan, hm ...."

Belum sempat Esy bertanya lagi, suara mobil sampah membuyarkan pembicaraan mereka. Setelah selesai membuang sampah, mereka bertiga kembali ke rumah majikan masing-masing.

Risma langsung mengerjakan tugas rutinnya, yaitu memijat kakek. Sudah hampir 2 tahun Risma bekerja merawat kakek Hu, seorang lelaki tua berusia 86 tahun yang mengidap penyakit Parkison. Berhubung kakek tidak suka keluar rumah, maka setiap hari Risma harus membantunya terapi dan juga memijitnya sebanyak 3 kali sehari. Seperti jadwal yang sudah diatur oleh majikannya, anak kakek Hu.

Selesai mengerjakan semua tugasnya, Risma bergegas mandi lalu beristirahat di kamar. Sementara itu, kakek dan nenek sedang asyik menonton televisi. Dia tersenyum melihat sepasang suami istri itu. Mereka begitu mesra duduk bersama, terkadang asyik berbincang tentang acara televisi yang sedang mereka tonton. Risma tidak ingin mengganggu kebersamaan mereka, dia lebih memilih berdiam di kamarnya sambil beristirahat. Kalaupun kakek dan nenek membutuhkan sesuatu, mereka bisa setiap saat memanggilnya.

Drrrrrrt ....

Hampir saja Risma terlonjak karena handphone-nya tiba-tiba bergetar. Nampak nama Esy di layar Xperia Miro-nya itu.

"Wei, warga negara," sapa Risma di telepon.

"Hi hi hi. Lagi apa, Mbak Ris?" Suara Esy terdengar renyah. "Ngelamun lagi ya?"

"Baru mandi. Kamu sudah mandi belum?" tanya Risma.

"Coba tebak?"

"Hm kalau dari baunya sih, belum." canda Risma.

" Yee sudah donk." cibir Esy di telepon.

"Tumben haha." Risma tertawa geli.

" Iya, tadi nenekku bilang, suruh tidur cepat. Besok mau bangun pagi, jalan-jalan." jelas Esy.

"Ya sudah, cepat tidur sana!" perintah Risma.

"Hmm belum bisa tidur, Mbak Ris," gerutu Esy.

"Kenapa? Mikirin cowokmu lagi?"

"Hmm kasih tahu nggak ya?" goda Esy.

"Nggak usah deh." kata Risma ketus.

"Yee ngambek hahaha."

"Dasar, kamu!"

"Eh tadi aku lihat Mbak Ris pakai jaket FLP. Apa itu?" tanya Esy mengalihkan pembicaraan.

"Oh itu tadi. FLP itu Forum Lingkar Pena, wadah kreatifitas bagi para penggemar dunia literasi. Siapa saja yang suka dan serius ingin belajar mengembangkan kemampuan menulisnya, bisa bergabung di FLP," jelas Risma.

"Mbak Risma juga gabung?"

"Iya. Tapi sekarang ... aku sudah berhenti menulis." Suara Risma terdengar lirih tak bersemangat.

"Lho, kenapa?" tanya Esy.

"Aku sudah nggak bisa nulis lagi, nggak bisa seperti dulu." jawab Risma.

"Kenapa?" Esy merasa sangat penasaran.

Risma memandangi kotak kecil di bawah mejanya. Kotak itu yang menyimpan semua ide yang selama ini dia kumpulkan. "Entahlah. Aku juga nggak tahu."

"Dulu Mbak Ris, nulis apa saja?"

"Ada puisi, sajak, tapi aku lebih suka menulis cerpen. Beberapa cerpenku pernah dimuat di majalah." Risma tersenyum simpul mengingat cerpennya.

"Majalah apa? Judulnya apa?" tanya Esy.

"Hmm sudah lama banget sih. Seingatku, ada yang judulnya, sepatah kata salam. Ada lagi mading cinta, gajah vs monyet, terus ...." Risma mencoba mengingat-ingat.

"Hah gajah vs monyet!" Esy tersentak. "Aku tahu cerpen itu!"

"Hm masa sih?" Risma nampak heran.

"Dulu waktu aku masih kerja di Pingtung, aku sering pinjam majalah ke temanku. Di antara sekian cerpen tadi, aku paling suka sama cerpen itu." jawab Esy penuh semangat.

"Memangnya kenapa?" Risma penasaran.

"Biasanya aku pinjam majalah cuma mau lihat zodiak dan humor saja. Tapi waktu itu aku tertarik sama judulnya. Setelah kubaca, wah! Aku bisa merasakan dan mengambil hikmah dari cerita itu. Perumpamaan dalam ceritanya benar-benar sesuatu yang berarti," kata Esy.

"Begitu ya?"

"Aku nggak nyangka kalau sekarang bisa ketemu sama penulisnya." Suara Esy terdengar sangat gembira.

"Dasar, kamu ini," kata Risma sedikit menahan tawa.

"Jangan berhenti nulis, Mbak Ris. Aku saja bisa terinspirasi untuk menerapkan arti cerita itu dalam kehidupanku. Mbak Risma pasti bisa menulis cerita-cerita lain yang bisa menginspirasi pembaca. Sama kayak aku nih, yang sudah terinspirasi." kata Esy panjang lebar.

"Sebegitukah hebatnya cerpenku? Sudah-sudah cepat tidur. Kalau besok sampai kesiangan, jangan salahkan aku lho!" perintah Risma.

"Tapi janji lho, nulis lagi. Baru sekarang aku benar-benar percaya, kalau cerpen-cerpen di majalah itu penulisnya adalah BMI di Taiwan," kata Esy.

"Memangnya, dulu nggak percaya?"

"Ya gitu deh. Heran saja, mana mungkin BMI yang sibuk kerja bisa sempat menulis cerpen. Apalagi cerpen-cerpennya bagus dan menginspirasi banget. Secara BMI itu kan, hanya buruh." kata Esy.

"Menulis itu untuk selingan, mengisi waktu luang. Buruh juga manusia, bisa bekerja sambil berkarya. Tahu nggak!" balas Risma.

"Makanya, sekarang aku percaya. Mbak Ris, jia you!" seru Esy menyemangati Risma di telepon.

"Iya deh, iya. Sudah kamu cepat tidur sana, wan an." Risma mengucapkan selamat malam pada temannya itu, sebelum dia mematikan telepon.

"Ya Allah, benarkah ini caraMu untuk membuatku kembali bersemangat menulis," bisik Risma sambil menengadahkan kepalanya.

"Orang lain saja bisa mengambil hikmah dari cerita yang aku tulis, bahkan mencoba menerapkannya dalam hidup. Mengapa aku sendiri tidak bisa?" Risma menghembuskan nafas panjang lalu beranjak ke arah jendela dan mencoba menemukan jawaban di luar sana. Tapi yang dia dapati hanya deretan apartemen yang berjajar di sepanjang jalan di kota Kaohsiung itu.

***

Esok sorenya, Risma menemani nenek untuk pergi ke tempat seorang penjahit langganan nenek yang berada di dekat stasiun Kaohsiung. Sambil menunggu, Risma meminta ijin untuk membeli sedikit barang di toko Indo yang tak jauh dari tempat penjahit itu.

"Woe Ris!" Seorang cowok menepuk pundak Risma dari samping. Risma tidak menyadari kalau ada yang memperhatikannya sejak tadi.

"Eh iya. Kamu ... siapa ya?" tanya Risma menatap heran kepada cowok itu.

"Aku Ady, yang dari Cirebon." jawab cowok manis berkulit hitam itu sambil terus tersenyum kepada Risma. Namun dahi Risma semakin berkerut.

"Yee, aku Ady, yang di Cijin. Yang baru pulang ke Indonesia." tambah cowok itu lagi.

Senyum Risma terkembang, "Ohh iya, aku inget. Apa kabar?" tanya Risma sambil mengulurkan tangan.

"Kamu sombong banget, nggak pernah angkat teleponku!" Ady menatap Risma dengan tajam, dijabatnya tangan Risma dengan erat.

"Sorry deh. Aku nggak pernah angkat telepon dari Indonesia, kasihan mahal kalau telepon ke Taiwan," jawab Risma sedikit salah tingkah.

"Terus, kenapa kamu juga nggak telepon aku?" tanya Ady lagi.

Risma menggaruk-garuk kepalanya, "Hm kamu kan lagi kumpul sama keluarga, jadi aku nggak mau ganggu."

"Ya sudah. Sekarang ada waktu nggak, kita cari tempat buat ngobrol," ajak Risma.

Risma melirik ke arah jam tangannya, jam 3 sore. Tadi nenek berpesan agar dia kembali ke tempat penjahit tadi sebelum jam 5 sore. "Hm ... bisa. Ayo ke cafe itu saja." Risma mengajak Ady menuju ke sebuah cafe kecil di ujung jalan.


Sepanjang perjalanan pulang, Risma termenung. Dia terngiang dengan percakapannya dengan Ady. Tidak berbeda dari teman-teman Risma lainnya. Ady juga memberikan semangat kepadanya untuk tetap dan terus menulis. Bahkan Ady meminta tolong pada Risma agar membuatkan cerpen yang berisi tentang kisah-kisah Ady selama menjadi pelaut. Tentang kerinduan Ady kepada keluarga yang jauh berada di Indonesia.

"Aku percaya padamu. Jangan patah semangat. Untuk membuat orang lain tidak memandang remeh kepadamu, maka kamu tidak boleh memandang remeh kepada dirimu sendiri. Percayalah, kamu bisa. Jia you!" Itu pesan Ady sebelum berpisah. Ady juga berharap agar Risma kembali bersemangat seperti dulu.

"Kamu kenapa?" tanya nenek sambil menyenggol tangan Risma.

Risma hanya menggeleng, dia melongok ke jalan yang dilewati bis yang sedang ditumpanginya. "Sebentar lagi kita turun, Nek."

"Iya. Nanti sampai di rumah, kamu bantu kakek lap badan dulu. Kalau sudah, baru masak untuk makan malam. Aku akan siapkan sayurnya!" perintah Nenek diiringi anggukan kepala oleh Risma.

Malam kembali menjelang, hari demi hari berlalu begitu cepat. Risma belum juga bisa memejamkan matanya. Otaknya berfikir keras untuk mencerna nasihat dari teman-teman dan juga keluarganya. Tadi Risma sempat menelepon ibunya untuk mengabarkan bahwa sambal goreng yang dititipkan pada temannya, sudah dia terima. Sungguh tiada kata yang dapat mengungkapkan kebahagiaannya saat ini. Dia bisa merasakan masakan ibunya di Taiwan. Risma sempat berjanji akan membawa ibunya berkunjung ke negeri Formosa itu. Dia ingin agar ibunya bisa melihat betapa megah negeri di mana selama hampir 6 tahun lamanya, Risma bekerja dengan penuh perjuangan.

Risma juga menceritakan tentang masalah yang tengah di hadapinya. Hanya kepada ibu, Risma mau berkata jujur.

"Bu, aku harus bagaimana?" tanya Risma di telepon

"Nduk, jangan terlalu memaksakan diri. Kesehatan juga pekerjaan kamu itu yang lebih penting. Ibu tahu, kamu menulis untuk membuat ibu bangga. Kamu ingin menunjukkan pada ibu kalau kamu juga bisa berprestasi." Suara ibu terdengar serak di telinga Risma.

"Bu, Risma hanya tidak mau kalau ibu terus menyalahkan diri sendiri karena merasa tidak bisa menyekolahkan Risma hingga jenjang universitas. Semua ini pilihan Risma. Tidak kuliah hingga bekerja keluar negeri, semua ini pilihan Risma. Hanya dengan hobi Risma ini, Risma bisa buat ibu merasa bangga. Tapi sekarang, Risma justru membuat ibu kecewa." Risma mulai terisak.

"Nduk, kamu sudah membuat ibu bangga. Ibu bisa merasakan perjuangan kamu selama ini. Bukan hanya dalam bekerja atau menulis saja, tapi dalam semua hal. Kamu putri kebanggaan ibu. Jangan paksakan dirimu jika kamu merasa lelah. Selesaikan kontrakmu lalu pulanglah, kami semua menunggumu."

"Tapi aku ingin menulis lagi, Bu. Aku juga masih ingin bekerja di Taiwan."

"Ibu mengerti perasaanmu, Nduk. Apapun keputusanmu, akan selalu ibu dukung. Tapi berjanjilah, jaga kesehatanmu baik-baik. Selain itu, kurangi berat badanmu. Ibu lihat di foto, kamu semakin gemuk saja," pesan ibu.

"Ada seorang temanku yang pernah bilang, kalau menulis adalah salah satu obat dari penyakit. Dengan menulis kita dapat menuangkan segala suka duka dalam pikiran dan hati, sehingga hidup ini bisa terasa lebih ringan. Ada banyak hal yang tidak bisa diucapkan, namun bisa dituliskan." Risma begitu bersemangat.

"Kamu benar, Nduk. Oh ya, kapan kamu menulis surat untuk ayahmu lagi? Atau setidaknya kamu kirim sms buat ayah." Pertanyaan ibu membuat Risma bungkam seketika.

"Bu, bagaimana keadaan ayah?" tanya Risma lirih.

"Ayahmu sudah tidur," jawab ibunya.

"Bu, bukan aku tidak mau bicara dengan ayah. Tapi aku sungguh tidak tega mendengar suaranya yang lemah, aku ingin menangis."

"Begitu pula dengan ayahmu. Tidak pernah beliau tidak memikirkanmu. Walau mungkin ayahmu itu tidak mengungkapkannya, tapi ibu tahu apa isi hatinya," jelas ibu kepada Risma.

"Bu, asalkan ayah, ibu dan adik-adik baik-baik saja. Itu adalah kebahagiaanku dan semangatku di Taiwan. Doakan aku ya, Bu."

"Selalu, Nduk. Jika kamu ingin menulis, ingatlah selalu. Awali dengan bismillah dan akhiri dengan alhamdulillah. Pikirkan apa yang ingin kau sampaikan kepada pembaca tulisanmu nanti, maka semuanya akan tersurat dengan sendirinya," kata ibu memberi semangat pada Risma.

Risma begitu bahagia malam ini. Pikirannya tenang tanpa beban. Dia yakin dengan keputusannya untuk kembali menulis. Bahkan sudah banyak ide yang terlintas dan siap untuk dikembangkan menjadi sebuah cerpen. Dia ingin menulis untuk teman, keluarga juga untuk semua orang yang akan membaca tulisannya.

***

Sudah 2 malam, Risma mencari beberapa informasi di internet untuk mendukung cerpennya. Waktu deadline hanya tersisa 3 hari. Erin menyarankannya untuk banyak-banyak membaca, agar ide cerpennya di dukung dengan informasi akurat yang dapat dipertanggung jawabkan. Walaupun sibuk menulis, tapi Risma tetap tidak melalaikan tugasnya. Untuk itu, dia lebih memilih menghabiskan waktu malam hari untuk menulis, karena siang hari dia harus bekerja. Dia tidak memperdulikan kepalanya yang terkadang pusing, matanya terasa perih atau tangannya yang mendadak kaku. Beberapa kali pena serta handphone yang dia pegang terjatuh, namun dia tidak juga menyerah.

Siang itu, Risma bekerja dengan membawa rasa kantuk yang sangat hebat. Berkali-kali dia menguap saat sedang memijat kakek. Risma merasakan kepalanya sangat pusing, tubuhnya berkali-kali limbung. Sekuat tenaga dia tetap mengerjakan tugasnya. Namun bagaimanapun juga, manusia punya batas pertahanan. Matanya tiba-tiba berkunang-kunang dan terasa sangat berat.

Saat Risma tersadar, dia tidak bisa membuka matanya. Seolah ada lem yang kuat merekatkan kelopak matanya itu. Walau begitu dia masih dapat merasakan ada banyak orang tengah mondar-mandir di sekitarnya. Tubuhnya terbaring tak berdaya, bibirnya kaku dan seluruh tubuhnya lemas, mati rasa.

"Apakah dia pernah mengalami kecelakaan?" tanya seorang lelaki yang berdiri di samping tempat tidur Risma. Lelaki berkaca mata itu mengamati Risma, lalu sesekali melirik lembaran kertas di tangannya.

"Benar, Dokter. Menurut keterangan ibunya, 7 tahun lalu dia pernah mengalami kecelakaan yang mengakibatkan gegar otak," jawab seorang wanita keturunan Indo-China yang tidak lain adalah Tasya, penerjemah agensi yang mempekerjakan Risma.

"Pasien ini terkena stroke karena adanya penyumbatan pembuluh darah otak belakang. Penyebabnya adalah kadar gula, kolesterol dan juga tekanan darah yang tinggi. Syaraf keseimbangannya terpengaruh. Selain itu, terdapat luka di kepala belakang yang menyebabkannya mengalami kerusakan otak difus. Selama beberapa tahun berkembang dan menyebar dalam otaknya karena tidak ada pengobatan akurat yang dilakukan. Kami akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut lagi, untuk lebih memahami keadaannya," jelas dokter, sebelum pergi meninggalkan ruangan itu.

Risma membuka matanya perlahan. Dia merasa sangat bingung dan tidak dapat mencerna keadaannya saat ini. Tangannya diinfus, dihidungnya terdapat sebuah selang panjang untuk menyuntikkan makanan ke dalam lambungnya. Selain itu banyak kabel di tubuhnya yang terhubung dengan beberapa mesin-mesin alat bantu kesehatan.

"Ah dia sudah sadar!" kata Tasya.

"Tasya, tolong sampaikan kepada ibunya untuk tabah. Masalah biaya, akan aku tanggung semua. Sebagai majikannya, aku kurang memperhatikan kalau selama ini dia menahan rasa sakit," kata nyonya Hu, majikan Risma.

"Baik, nanti akan saya sampaikan. Mari kita keluar dulu, biarkan ibunya yang menjaga," kata Tasya mempersilahkan nyonya Hu.

"Ris, apa kamu bisa melihat ibu? Apa kamu bisa mendengar ibu, Nduk? Sudah 2 minggu kamu tidak sadarkan diri." Suara tangis ibu terdengar lirih di telinga Risma. Risma terlihat ingin menjawab, tapi bibirnya masih kaku.

"Nduk, ibu sudah datang ke Taiwan. Kamu cepat sembuh ya, Nduk. Mengapa semuanya jadi begini, ya Allah." isak ibu sambil menggenggam tangan Risma.

Risma mencoba sekuat tenaga untuk membuka bibirnya, namun sulit sekali untuk mengucapkan sepatah kata. Air liurnya menetes membasahi dagu. Ibunya mengambil selembar tisyu untuk mengusap lembut dagu putri pertamanya itu. Air mata ibu Risma tidak bisa tertahan. Butiran-butirannya mengalir jatuh membasahi wajah sendu yang penuh rasa haru.

"Kamu ingin bicara apa, Nduk?" tanya ibu. Melihat ibunya menangis, airmata Risma juga mengalir. Dadanya bergemuruh, jantungnya berdetak dengan kencang. Keadaannya kembali tidak stabil. Ibu Risma segera berlari keluar kamar dan berteriak memanggil dokter. Ibunya sangat khawatir dengan keadaan Risma yang tiba-tiba memburuk.

"Pasien ini harus segera operasi. Jika tidak, pembuluh darah otaknya bisa pecah. Suster! Siapkan ruang operasi!" perintah dokter telah memeriksa keadaan Risma.

Risma tersentak,terasa ada yang menggoyang-goyang tubuhnya.

"Mengapa kamu tidur di sini?" tanya nenek.

"Aku tidur .... Hah jadi semua tadi mimpi?" Risma memandang lekat ke arah nenek. Tubuhnya basah oleh cucuran keringat.

"Mimpi? Mimpi apa?" Nenek terbengong. "Cepat bangun, waktunya makan malam."

"Hah ... aku belum masak nek!" seru Risma sambil bangkit dan bergegas ke dapur. Namun matanya terbelalak melihat hidangan di meja.

"Aku sudah masak." Nenek tersenyum simpul.

"Maaf, Nek. Aku melalaikan tugasku." Risma menunduk malu. Dia merasa sangat bersalah.

"Sudahlah. Aku tahu kamu kerja capek. Sekarang makan dulu, setelah itu kerja lagi. Jangan sampai kamu sakit. Kalau sakit cepat bilang padaku, aku akan mengantarmu berobat." Nenek membelai kepala Risma. Risma sudah dianggap seperti cucu sendiri oleh nenek.

Risma mengangguk penuh haru, "Xie-xie."

"Selalu jia you, fighting!" kata nenek memberikan semangat seraya mengepalkan telapak tangannya. Risma tertawa geli melihat nenek. Namun dia sangat bahagia karena nenek juga selalu mendukung dan memberinya semangat. Sungguh rasa syukur yang begitu luar biasa dan tidak akan pernah dia lewatkan lagi untuk kesekian kalinya.

Mengingat mimpinya tadi, Risma sungguh takut. Namun semua itu justru membuatnya paham dengan apa yang harus dilakukannya sekarang. Sakit, itu untuk diobati. Sedangkan menulis, akan terus dilakukannya sebelum dia benar-benar tidak dapat menulis lagi.

"Risma, jia you. Keep writing!" bisik Risma menyemangati dirinya sendiri.

End.


Kaohsiung, 25022014.