Keluarga kedua dan ketigaku di taiwan

2014-05-15 / Enda Asnia / Keluarga kedua dan ketigaku di taiwan / Indonesia 印尼 / Tidak ada

Keluarga kedua dan ketigaku di taiwan
Oleh:Enda Asnia

Menunggu waktu

Masih adakah
Nafasmu yang tersisa untuk esok?

Taicung, 100314

Laa’Haula Wa’laa Quw’wata Il’laa Bil’laah

***

Siang itu ketika aku menganti popok, tiba-tiba tubuh kakek menjadi lemas tanpa tenaga. Apalagi nafasnya yang tidak stabil dan sempat berhenti untuk beberapa detik, aku begitu panik, segera berlari memanggil suster dan suster dengan cekatan memeriksa juga mengukur tekanan darah kakek. “Bagaimana, masih bisa diukur tekanan darahnya?” Tanyaku pada suster dengan gemetar dan penuh harap.
“Masih.” jawab suster itu dengan tenang sambil memandangku yang mulai terisak.
“Terus bagaimana, kenapa kakek bisa seperti ini, apa kakek akan pergi? Kenapa kalian tidak memberi pertolongan dan membiarkan kakek begitu saja?” Tanyaku lagi sembari duduk dikursi dan menggenggam erat tangan kakek.
“Acen, bukan kami tidak memberi pertolongan, kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi lihatlah kakek sudah lanjut usia umurnya sudah sembilan puluh enam tahun, jika harus masuk ICU lagi, itu hanya akan membuat kakek semakin menderita, kasihan kakek. Tapi sekarang masih ada waktu banyak-banyaklah mengobrol dengannya. Sudah yaa, jangan menangis itu hanya membuat kakek sedih.” jawab suster baik itu menasehatiku sembari menepuk-nepuk pundakku. Yang malah membuat tangisku meledak tanpa mampu kutahan. Betapa pilu aku melihatnya tampak lesu dengan nafasnya yang tidak beraturan itu. Bagaimanapun juga aku yang merawatnya tiga tahun lebih, hampir tak bisa kupercaya, karena sebelum aku pulang ke indonesia untuk cuti kakek masih baik-baik saja, hanya sedikit murung. Itu karna mungkin sedih akan aku tinggalkan kata majikanku kala itu.
Tapi ketika baru sepuluh hari aku diindonesia, majikan mengabarkan jika kakek sakit masuk rumah sakit dan dalam perawatan ketat dokter di ICU. Yang membuat cutiku harus diperpendek, karna belum genap satu bulan, aku terpaksa harus kembali ketaiwan.

Sejak saat itu kondisi kakek semakin memburuk, sebenarnya dari awal dokter sudah memberi tahu jika tidak ada harapan sembuh untuk kakek, karena jantung dan paru-paru kakek sudah terinfeksi dan berair, maka dokter menganjurkan untuk merelakan dan menyiapkan hati jika suatu waktu kakek pergi untuk selama-lamanya. Dan seluruh majikanku pun paham akan hal itu. Hanya aku tetap menyimpan harap untuk kesembuhan kakek, karna aku yakin akan mukjizat TUHAN itu ada dan tidak ada yang mustahil bagi segala kehendakNYA.

***

Selasa, 11 maret, malam itu, entah kenapa aku tak mampu terlelap dan ingin tetap duduk disamping ranjang kakek. Kupandangi wajah kakek, yaa kakek yang meski sudah umur sembilan puluh enam tahun, tapi mukanya masih imut, lucu sekali jika dia tertawa, dengan giginya yang ompong. kadang manjanya seperti anak kecil, yang sering membuat aku terpingkal-pingkal dengan tingkahnya yang lucu, apalagi jika dia menangis. Benar-benar membuatku tambah gemas, untuk menggodanya. Meski hanya aku dan kakek tinggal berdua, namun tak pernah aku merasa bosan. Tentu saja karna canda dan tawa kakek, betapa aku sangat menyayanginya.
Ohh... Dia juga agak genit, suka sekali melihat cewek seksi.
Tapi kini semua hilang, tawanya yang riang juga omelanya yang kadang membuatku jengkel, tak lagi kudengar. Kini, dia terbaring lesu, diam membisu, bahkan panggilanku tak lagi dipedulikannya, apalagi tawanya, hilang.

“Yaa Robb, apakah aku terlalu egois dengan harapan ini?” Tanyaku dalam hati, sembari kubelai lembut kepala kakek.
Benar apa yang majikanku dan suster katakan, jika tak seharusnya aku tetap menahan kakek, merelakan kakek pergi adalah yang terbaik untuk kakek saat ini. Karna menangis hanya membuat beban untuk kakek dan menghambat kepergiannya meninggalkan dunia ini, berdoa untuk kakek agar pergi dengan tenang, tanpa rasa sakit yang teramat adalah satu-satunya hal yang terbaik, yang bisa aku lakukan untuk saat ini.

Kuusap lembut wajah kakek yang entah keberapa kalinya.
“Kek, acen tahu Kau pasti merasakan sakit dan sudah sangat lelah bukan, apakah kau rindu nenek? aku iklas jika kau ingin menemui nenek, Mungkin nenek tengah menunggumu dipintu surga sana, maafkan Acen jika selama menjagamu memiliki banyak kesalahan. Acen sungguh sangat menyanyangi kakek.” kataku malam itu sembari kukecup kening kakek, dan semalaman itu tak mampu sedikitpun mataku terpejam sampai pagi menjemput.

Rabu, 12 maret pukul setengah delapan malam, kakek menghembuskan nafas terakhirnya. Tepat ketika anak dan cucunya juga tengah menjenguk.
Tidak ada air mata yang menetes ketika masih berada dirumahsakit, hanya tubuh ku terasa lemas, betapa aku sangat kehilangan dia.
hinga jenazah kakek sampai dirumah, dan tangisku pun runtuh dipelukan majikanku.
Terasa tak percaya tapi inilah kenyataan. Ternyata senyum juga sapaan “gongsun” kemarin adalah kata yang terakhir untukku. kakek benar-benar telah pergi untuk selamanya.

Aku tetap tinggal disitu sampai jenazah kakek dikremasi, dan aku juga ikut mengantar sampai ditempat peristirahatan kakek yang terakhir, betapa aku tenang karena ruangan tempat penyimpanan abu kakek berada tepat satu ruangan nenek, sungguh luar biasa.
Aku yakin kakek bahagia bertemu nenek.
Selamat jalan, kek, semoga Tuhan memberimu tempat yang indah dan berbahagialah bersama nenek disurgaNYA.
Kenangan bersamamu akan tetap kuingat selalu. Terima kasih sudah memberiku sedikit waktu untuk merawatmu, juga mengajariku tentang arti cinta dan kasih sayang.

***

Senin, 7 april pukul dua sore, ejensi datang untuk menjemput dan mengantarku pindah ke majikan baru. Yang sebenarnya sudah dari awal aku tidak begitu menyetujuinya. Tapi ejensi yang ngotot, katanya dekat cuman dichanghua. Karna ejen tahu aku ingin mencari majikan disekitar taicung saja, biar tetap dekat dengan majikan lamaku, keluarga majikanku pun mendukungnya. Karena mereka sudah mengganggapku bagian dari keluarga mereka. Sungguh aku salut dengan keluarga kakek yang begitu baik kepadaku. Selama tiga tahun lebih bekerja disini, tak pernah sekalipun mereka memarahi atau berlaku yang tidak baik padaku. Mereka begitu pengertian, bahkan ketika kakek sakit yang mengharuskan rawat inap dirumahsakit. Mereka tidak pernah menyalahkanku malah yang menghiburku. Sungguh sangat pengertian juga bijaksananya mereka.
Sungguh kebaikan mereka membuatku enggan juga berat untuk meninggalkan tempat ini.
Tidak mudah untuk meninggalkan tempat yang memberiku cinta dan kasih sayang. Tiga tahun bukan waktu yang singkat. Namun terasa singkat karna kehanggatan cinta dari mereka. Serasa baru kemarin tiba saja, Yaa, disini adalah rumah keduaku, setelah rumah pertamaku diindonesia.

***

Sekitar pukul setenggah empat sore, kami sampai di sebuah tempat sepi yang jauh dari jalan raya, di sebuah rumah kecil kuno, yang dikelilingi dengan kebun. Tepat di kaki gunung. Betapa aku terkejut juga sangat kecewa, karena semua tidak sesuai dengan yang ejensi katakan. Bukan dichanghua melainkan diperbatasan antara Erl suei dan tiencung.

Sungguh keadaan yang berbeda jauh dengan majikanku yang di taicung. Tiga hari aku sudah merasa tidak betah. Lalu menelepon ejensi minta untuk pindah tapi ejensi tidak begitu merespon malah menyuruh penerjemah meneleponku. Dan dengan ketusnya penerjemah mengomel jika kenapa aku pilih-pilih majikan, Bagaimana tidak jengkel coba, selama tiga tahun tidak pernah sekalipun merepotkan mereka. Ehhh... Baru begini saja sudah ngedumel sana sini, pantas banyak Teman-teman yang mengerutu juga masalah yang tidak selesai. Karena sikap yang kadang tidak menyenangkan dari ejensi juga penerjemah.

Karena merasa terjepit maka ku adukan semua kesalahan ejen, apalagi aku melalui proses DHSC, yang seharusnya tanpa melalui ejensi, tapi karena majikanku yang kurang tahu bagaimana prosedur-prosedur untuk mengurus, apalagi bujukan ejensi yang katanya susah juga repot, terus prosesnya berbelitlah, petugasnya cerewetlah pokoknya sangat ribet intinya. Hinga majikanku menyerahkan keejensi untuk mengurusnya. Tentu saja ejensi senang bukan kepalang karena memiliki kesempatan untuk mengambil keuntungan seenak perutnya. Tidak tanggung-tanggung, ejensi mematok harga pengurusan sebesar empat puluh ribu NT. Itu belum termasuk tiket, hinga setelah negoisasi yang rumit, ejen mau menurunkan harga menjadi tigapuluh ribu, dan sisa yang sepuluh ribu untuk biaya tiket ku dari indonesia menuju taiwan nanti. Sedang tiket kepulanganku majikan yang membelikanya juga biaya pengurusan Dhsc itu mereka yang menanggungnya, aku hanya membantu sepuluh ribu saja. Yang tiket pulang pergi akan diboking langsung dari taiwan oleh ejen, pokoknya nanti hanya mengambil visa dijakarta dan langsung terbang. Itu katanya.
Tapi apa ketika waktu kepulanganku tiba, ejensi datang untuk menjemputku. Juga memberi tahu jika, tiket kembali ketaiwan belum terbeli, karna penuh katanya dan menyuruhku untuk membeli di indonesia. Nanti jika sampai ditaiwan ejensi akan menganti uang tiketnya. Ingin marah sebenarnya, tapi tidak ada pilihan lain karena keesokanya adalah jadwal penerbanganku untuk pulang keindonesia.

Karena terdesak aku ceritakan semua kepada penerjemah juga potongan-potongan yang diluar batas, yang seharusnya tidak ada. Dan uang tiket yang seharusnya dikembalikan juga diembat olehnya, benar-benar keterlaluan. Lalu apa kata sipenerjemah, katanya kalau masalah uang kamu, sama ejen saya kurang tahu, coba nanti saya tanyakan.
keesokannya ejensi menelepon, dan menyuruhku untuk tetap bersabar disana, lalu aku jawab jika akan mencoba bertahan untuk satu bulan jika tidak mampu aku ingin tetap pindah, atau ganti ejen saja. Karena kebetulan teman samping rumah majikan yang dulu akan pulang finis kontrak dan tidak kembali lagi, dan Nenek temanku itu ingin aku yang menggantikanya, tapi beda ejen jadi mungkin agak ribet prosesnya, apalagi ejensi tidak mungkin begitu saja melepas anak buahnya untuk oranglain, la nanti honornya bisa berkurang. Jadi daripada ribet, aku bersedia untuk mencoba tawaran ejensi yang ngotot membawaku ke bagian pelosok changhua ini.

Tapi ternyata siejen membuat ulah lagi, kemaren ditelepon sudah sepakat, jika aku diizinkan untuk satu bulan. Ehhhh, ternyata keesokannya dia datang, tanpa pemberitahuan untuk mengembalikan uang tiket juga menjemputku untuk pindah, meski belum menemukan majikan baru, katanya mau ditampung di kantor dulu, bagaimana bisa tentu saja aku dan majikan baru tidak setuju. Hingga ejensi memberiku waktu satu hari untuk berfikir, yang tentu saja membuatku binggung. Apalagi satu minggu ini, majikan baru memperlakukan aku dengan baik, juga mengerti tentang ketidakbetahanku, mereka pun tidak memaksaku untuk tinggal, meski mereka membutuhkanku.
“Sebenarnya kami sangat ingin kamu tinggal disini, tapi jika kamu tidak biasa tinggal disini dan ingin pindah, kami juga tidak memaksa, semua keputusan ada ditanganmu.” kata bibi atau majikan baruku, ketika kuungkapkan perihal keinginan untuk pindah ke taicung.

Semalaman itu aku berpiikir keras tentang keputusanku esok, dan aku telah memutuskan untuk pindah, tapi pagi itu ketika aku hendak membangunkan paman, begitulah mereka menyuruhku memangilnya. Tiba tiba dia menangis, sambil bilang. “apakah aku punya salah, kenapa kamu ingin pergi?” Tanya paman diantara isak tangisnya, yang membuatku trenyuh dan tidak tega, bagimana bisa baru saja satu minggu aku tinggal dirumahnya, mereka sudah begitu menyukai dan tidak ingin aku tinggalkan, hingga akhirnya aku memutuskan tetap tinggal, toh pekerjaan disini ringan, tugasku hanya menjaga paman yaitu suami bibi yang tak lain majikan baruku. Paman masih bisa berjalan tapi dengan efek obat, jika obatnya sudah tak berfungsi, dia tak mampu apa-apa karna otot kakinya mulai kaku. Sedang bibi menderita rematik. Mereka hanya tinggal berdua dirumah, dan satu atau dua minggu sekali anak-anaknya akan datang menjengguk. Aku juga mendapatkan hak untuk libur meski hanya satu bulan sekali, dan pasti dengan potongan gaji. Tapi tetap aku syukuri.

Sekarang aku mengerti, berat atau ringan tugas kita, entah di kota, di desa atau pun di pegunungan, asal kita jalani dengan hati, semua akan terasa ringan, juga ditambah majikan yang pengertian. Apalagi yang meski dicari?

Mungkin ketika baru pertama penyesuaian diri, akan terasa susah juga waktu terasa lama seakan berhenti berputar, tapi jika kita bisa menyiasatinya, semua akan terasa mudah.
Toh, waktu tidak akan berhenti berputar, haripun akan terus berganti dan tanggalpun akan tetap berjalan semestinya. Hanya bagaimana kita menjalani dan mensyukurinya saja.
Apapun itu yakinlah, rencana Tuhan lebih indah dari rencana kita, karena kita sebagai manusia biasa hanya mampu berusaha dan berdoa biarlah tuhan yang menentukan segalanya, percayalah disebalik petikan duka ada nada indah setelahnya.

***

Ahhh, semilir angin disenja ini begitu indah sejuk dengan pemandangan gunung yang menghijau, yach disinilah tempat ku mengais rezeki, tempatku bernaung untuk tiga tahun lagi, tempat baru, juga keluarga baru, keluarga ketigaku ditaiwan.
Mencoba tetap bertahan demi masa depan yang cemerlang juga demimu cinta.
SEMANGAT!!!


Changhua,120514