2014-05-01 / vivi fidiyanti / Merekontruksi Makna Wakil Rakyat / Indonesia 印尼 / majikan
Masyarakat sudah kadung memahami bahwa wakil rakyat adalah sebutan bagi orang-orang yang duduk sebagai anggota lembaga legislatif di negeri ini. Idealnya, para wakil rakyat dapat melahirkan berbagai undang-undang yang berakar pada aspirasi masyarakat sehingga akan membuahkan peningkatan kualitas hidup bagi masyarakat itu sendiri. Di sisi lain, telinga kita tidak lagi dapat berpura-pura tuli untuk mendengar segala jenis berita miring mengenai kinerja para anggota dewan. Mata kita pun tidak lagi dapat berpura-pura buta melihat tingkah laku para anggota dewan (sang pembuat undang-undang) yang semakin menancapkan asas trias koruptika (ketika eksekutif, legislatif, dan yudikatif melaksanakan korupsi berjamaah) di negeri ini. Apabila mereka memang wakil rakyat, rakyat mana yang mereka wakili? Apakah kita mewakilkan aspirasi kepada sistem yang tepat? Atau mungkin kita memang belum memahami makna kata ‘wakil’ secara holistik? Pertanyaan yang terakhir (mungkin) adalah jawabannya.
Sebagai permulaan, mari kita bersetuju untuk menyatakan bahwa pemahaman kita selama ini terhadap makna ‘wakil’ rakyat adalah pemahaman kuno dari zaman dulu, oke? “Marilah sekarang kita bangun tembok baja antara zaman dulu dan zaman sekarang, dan jangan sekali-kali melihat ke belakang dan mencoba-coba mempergunakan tenaga purbakala itu untuk mendorongkan masyarakat yang berbahagia” (Tan Malaka). Ya, yakinilah bahwa apabila pemahaman kita mengenai ‘wakil’ masih seperti dahulu maka selamanya bangsa ini tidak akan merasakan kebahagiaan yang hakiki di tanahnya sendiri.
Lebih enak berkendara menggunakan angkutan umum yang reyot sambil berdesak-desakan atau menggunakan mobil mewah nan mulus? Biarlah ‘wakil’ rakyat yang mewakili kita untuk menggunakan mobil mewah nan mulus itu. Ketika rapat, lebih enak mendengarkan pemaparan masalah dengan seksama atau bercengkerama dengan gadget atau bahkan tidur? Biarlah ‘wakil’ rakyat yang mewakili kita untuk bermain gadget dan tidur di ruang ber-AC itu. Lebih enak memiliki penghasilan yang terbatas atau penghasilan besar dengan berbagai tunjangan dan privilese? Biarlah ‘wakil’ rakyat yang mewakili kita untuk berpenghasilan besar dengan berbagai tunjangan dan privilesenya.
Mana yang lebih menggiurkan; mendapat untung sedikit dari jalan yang sah atau mendapat untung yang besar dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme? Biarlah ‘wakil’ rakyat yang mewakili keberanian kita terhadap uang. Apalagi kenikmatan yang belum kita wakilkan kepada mereka? Pemahaman mengenai ‘wakil’ yang seperti inilah yang dimaksud sebagai pemahaman kuno dan menyebabkan masyarakat cenderung antipati terhadap berbagai isu dan permasalahan politik bangsa ini, padahal (mau tidak mau) bangsa ini dijalankan oleh kebijakan politik yang melibatkan para anggota dewan yang terhormat. Oleh sebab itu, mari kita ubah pemahaman kuno tersebut sedari sekarang.
Di era modern sekarang ini, masyarakat perlu diedukasi melalui penyampaian konsep yang benar mengenai tugas dan wewenang orang-orang yang wajahnya terpampang di baliho, stiker, kaos, dan media kampanye lainnya ketika nanti mereka telah berhasil mendiami gedung DPRD Kabupaten/Kota, Provinsi, atau DPR RI. Selagi para calon anggota dewan sedang bergairah untuk berkoar-koar dengan memproklamirkan dirinya sebagai ‘wakil’ rakyat, maka mereka dan kita harus paham dan mempertanyakan “apa itu ‘wakil’?”
‘Wakil’ adalah orang yang dikuasakan untuk menggantikan orang lain. Para calon anggota legislatif harus mengerti bahwa hakikat duduknya mereka di kursi parlemen adalah sebagai ‘pengganti’, siapa yang mereka gantikan? Tentu saja jawabannya adalah sejumlah konstituen yang telah sadar (atau tidak) memilih mereka sebagai anggota legislatif. Sebagai seorang pengganti, seorang anggota dewan hakikatnya tidak memiliki kekuasaan apapun karena tentu saja yang berkuasa sepenuhnya adalah orang yang mereka gantikan (rakyat). Pemahaman terhadap konsep ini, meskipun mendasar, terkadang dilupakan oleh kita. Saat kampanye, seorang anggota dewan cenderung bermulut manis dengan mengumbar janji-janji dan pengharapan. Demi sebuah kursi sebagai seorang ‘wakil’, ratusan bahkan miliaran rupiah digelontorkan untuk mengiming-imingi konstituen. Ironisnya, saat kursi telah diraih justru kursi tersebut jarang diduduki oleh sang 'wakil' sebagaimana dilaporkan oleh berbagai media mengenai merosotnya tingkat kehadiran anggota dewan dalam sidang. Apabila kehadiran saja minim, lalu apa yang kita harapkan dari mereka sebagai 'wakil'? Dan sesungguhnya apa yang mereka kerjakan saat tidak menghadiri sidang yang notabene adalah tugas utamanya?
Masalah di atas akan dengan serta-merta mematahkan makna ‘wakil’ berikutnya. Ya, ‘wakil’ adalah utusan. ‘Utusan’ tentu merujuk kepada peran seseorang yang telah dipilih oleh para konstituen di daerah pemilihannya. Apa tugas seorang ‘utusan’? Utusan adalah orang yang disuruh atau ditugasi untuk menyampaikan sesuatu atau menjadi penghubung. Rujukan makna ini harus ditafsirkan sebagai salah satu tugas utama seorang legislator. Anggota dewan harus mampu menyampaikan permasalahan yang menciptakan kegusaran di daerah pemilihannya kepada forum nasional sehingga dapat menghilangkan jarak antara pemerintah pusat dan rakyat di daerah. Peran strategis anggota dewan, sebagai jembatan penghubung, harus dimanifestasikan dalam keajegan ideologi dan tujuan untuk memperjuangkan dan mempertanggungjawabkan kepentingan orang-orang yang telah mengutusnya (menyuruhnya) yaitu rakyat; bukan kepentingan partai apalagi kepentingan yang materialistis. Di sisi lain, bagaimana mau menyampaikan masalah apabila hadir sidang saja tidak?
‘Wakil’ adalah jabatan yang kedua setelah yang tersebut di depannya. Rujukan makna ini (mungkin) terdengar sebagai lelucon, tetapi inilah yang harus menjadi pemahaman fundamental bagi para calon anggota legislatif di negeri ini. Ketika mereka mengembor-gemborkan diri sebagai ‘wakil’ rakyat maka sesungguhnya jabatan mulia sebagai anggota dewan hanyalah merupakan jabatan kedua bukan yang utama. Posisi dan letak kekuasaan utama di negeri ini terletak pada tangan-tangan 200 juta rakyat Indonesia yang telah dengan sadar memegang teguh Pancasila sebagai ideologinya bukan mereka yang wajahnya muncul di spanduk-spanduk itu.
Kata ‘wakil’ menjadi senjata periklanan politik yang sangat manjur untuk merepresentasikan niat tulus seseorang yang hendak duduk di parlemen, sayangnya pemahaman sebagian besar dari mereka yang sekarang telah duduk di sana tampaknya masih kuno. Tugas seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sangat strategis, yaitu membuat undang-undang dan menetapkan anggaran pendapatan dan biaya negara. Tugas-tugas tersebut dapat digolongkan sebagai lahan basah untuk mendulang rupiah kotor bagi mereka yang belum memahami makna ‘wakil’ secara holistik.
Bagi siapapun yang hendak memproklamirkan dirinya sebagai ‘wakil’ rakyat, kiranya kalian dapat memahami tulisan sederhana ini dengan sebaik-baiknya. Rakyat tidak memerlukan tontonan berupa anggota dewan dengan seragam necis, tidak memerlukan pemberian beberapa bungkus mie instan dan sembako, bahkan tidak memerlukan luapan janji-janji yang entah kapan akan terwujud. Rakyat memerlukan orang-orang yang dapat dengan cakap dan tepat untuk mewakilinya dan bertindak sesuai dengan fungsinya sebagai wakil. Itu saja!