Monolog Hati

2014-05-10 / Jay Wijayanti / Monolog Hati / Indonesia 印尼 / Umi Sugiharti

MONOLOG HATI
Pagi bersemburat embun di musim dingin, Anna mengayuh sepeda menuju ke tempat kerjanya. Aku tengah mengamati dari pintu depan sebuah restaurant, menunggu dengan sabar. Persahabatanku terbilang seumur jagung, karena aku baru pindah dari majikan dulu. Mengamati kegiatan Anna setiap harinya, hatiku trenyuh dan terharu, tersentuh oleh semangatnya tak tergeser waktu.
Sungguh! Tapi, aku? Melihat sosok perempuan berambut pendek di hadapanku, seperti kugenggam sebuah cermin yang menampakkan kekhawatiranku, ketakutan dan kecemasan tak kunjung redup. Ingin rasanya aku menggempur cermin seluruh dada ini, agar sekian rasa sakit bertumpukan itu roboh seiring berjalannya waktu. Sanggupkah?
“Sudah lama menungguku?” tanya Anna.
“Lumayan, Mbak. Saya mau ambil sayuran,” ujarku pelan, sambil memarkir sepeda motor –kendaraan yang kukendarai setiap hari untuk mengantar anak bos— di samping pintu pagar. Anna membuka kunci dan kami pun masuk. Seperti biasa, obrolan selalu mewarnai pertemuan kami, kesempatan langka sebisa mungkin kami manfaatkan.
“Kurs sekarang berapa, Renny?” tanyanya penasaran, ada sorot mata serius kutangkap dari aura wajahnya. Aku menggeleng.
“Mau kirim uang?” ujarku. Dia mengangguk penuh semangat. Aku membalasnya dengan tersenyum, “Kirim berapa memangnya?” lanjutku.
“Sudah 3 bulan aku tak mengirim gajianku, majikan perempuan selalu menjanjikan hari. Sungguh lelah menghadapinya, aku tak boleh meninggalkan pekerjaan berat ini.”
“Aku bisa membantumu, Mbak,” ungkapku serius. Dia tiba-tiba terdiam, sepertinya berpikir untuk kedua kalinya apakah mau menitipkan uangnya kepadaku. Aku tak berani meyakinkan prasangkanya terhadapku, maklum baru kenal dalam hitungan minggu.
“Baiklah, lagian majikan kita kakak beradik, aku mau kirim 55.000 NT. Nanti nomor rekening dan nama penerima kukirim lewat SMS,” lanjutnya.
Dalam hitungan detik, dia mengeluarkan puluhan lembar ribuan dan menyerahkannya kepadaku. Sejak saat itu, kepercayaan diberikan oleh Anna kepadaku. Demikian aku lebih berhati-hati membawa amanah uang sebanyak itu, karena tempatku jauh dari kantor pos dan sejenisnya, cara tercepat adalah lewat 7-11 (seven eleven) terdekat. Lewat bantuan teman di Taipei, uang itu sampai di alamatnya dan dikirimkan ke rekening yang sudah kukirim balik ke dia. Sesekali Anna menaruh kecurigaan tentang kronologi kenapa aku pindah ke majikan ini, namun aku menghindar, tanpa harus memberitahukan siapa aku sebenarnya.
***
Kami bekerja di Kota Taoyuan, majikannya adalah adik perempuan Nyonyaku. Dua bulan berlalu, aku semakin paham kerjaannya di restaurant makanan siap saji. Mulai dari mengirisi daging, membumbui daging dan menggorengnya dalam wajan besar, masih ditambah lagi dengan mengiris macam-macam sayuran berjumlah kiloan, mencucinya, dan menumisnya. Belum lagi telur digodok dan dijadikan satu dengan daging babi dimasak kecap asin, sebagian lainnya digoreng.
“Kemarin tanganku mati rasa, sakit tak tertahan. Aku tak bisa tidur semalam suntuk,” ujarnya dengan suara parau, lemas.
“Apa yang terjadi denganmu?” aku heran.
“Karena menggoreng telur sebanyak 500 butir,” jawabnya diiringi gelengan kepala.
“Apa!!” Aku terperangah tak mempercayai pengakuannya, sungguh tiada terbayang ketika dalam posisi berdiri dan berhadapan dengan minyak berjam-jam.
Sedih dirasakannya tidak itu saja, selain tidak mendapatkan jatah liburan, sepeda yang dia pergunakan untuk pulang pergi jarak dari rumah dengan tempat kerja pun sudah tidak layak pakai, semua berkarat. Jangankan dirawat, dilihat saja tidak oleh semua anggota majikannya. Hingga suatu hari, Anna mengaku terlambat datang ke tempat kerja karena ban sepedanya bocor, alhasil dia menuntunnya ke bengkel dan mendapat ganti ban bagian dalam dengan membayar 80 NT (setara Rp. 30.000,00). Anna bercerita pada majikannya, bukannya diganti uang malah kena marah kalau sepedanya itu rusak setelah dia pakai.
Persahabatan membuahkan kebersamaan indah untuk berbagi, meski saling berpura-pura cuek ketika salah satu di antara kami mendapati majikan ada. Hal itu demi menjaga kebaikan, sebab majikan kami terkenal pelit dan suka menyuruh mengerjakan sesuatu tanpa istirahat. Jangankan untuk tidur siang, larut malam kami baru memasuki kamar.
***
Di rumah megah berisikan barang elektronik mahal, guci-guci bermerk, dan koleksi minuman bir berharga ratusan ribu berjajar di setiap sudut ruangan. Majikanku mempunyai dua anak laki-laki gagah dan sopan terhadapku. Aku pindah dari majikan dulu ke rumah ini lewat seorang agensi pria yang mengaku kerja di pabrik. Itu pun tidak percuma, harus merogeh kocekku 1000 NT di awal perjanjian dari total permintaan 6000 NT. Lewat dia, aku diperkenalkan dengan Nyonya Wu.
Pekerjaan beresiko tinggi ketika aku harus mengendarai motor, diperuntukkan untuk memudahkanku. Sementara, ada rasa takut manakala melihat polisi hilir mudik di pinggiran jalan sedang berpatroli. Bagaimana tidak? Aku tak memiliki surat izin untuk mengemudi dan lainnya. Tidak hanya itu saja, anak laki-lakinya yang masih duduk di bangku SMA kelas dua mempunyai berat badan 100 kg, tak terbayang bagaimana posisi kami berdua?
Di dalam rumah berlantai empat itu, aku membersihkan setiap sisi ruangan tak terkecuali gudang, sampai bersih dan mengkilat. Bila tidak, maka omelan dan omongan kasar akan terlontar begitu saja lewat bibir tipis nyonyaku. Wanita berumur 52 tahun, berambut keriting warna pirang, tinggi 160 cm, dan selalu menyukai pakaian seksi. Dia sangat hobi sekali mengoleksi tas bermerk LV dari Paris.
Malam itu, pintu depan diketuk dengan kerasnya. Aku berlari menuruni anak buah tangga. Teriakan dari luar sudah terdengar memekakkan telinga, “Rennyyy…… buka pintunya!” teriakan itu berulang-ulang dan berhenti setelah aku menatap wajah memerahnya bagai kepiting rebus.
Dia sempoyongan, aku memapahnya menaiki lantai dua hingga menuju ke kamarnya. Bau alkohol menyengat dari mulutnya membuatku menghentikan napas sejenak, kemudian menarik napas dalam-dalam ketika nyonya sudah menundukkan kepalanya ke jamban toilet. Posisinya duduk dan mengapit tubuh jamban dengan kedua kakinya yang terbujur lurus ke depan. Dia muntah berkali-kali dengan bau tak sedap, sesekali ngoceh omongan dengan bahasa Tayi tak kupahami maksudnya. Lebih membuatku terperangah apabila nyonya sudah melepas bajunya dan membuangnya begitu saja. Kesabaranku benar-benar diuji.
***
Suaminya bermarga Lin, hanya mampu berbaring dan kesehariannya nonton televisi, makan dan mandi pun aku harus turun tangan membantunya. Menurut penuturannya, dia pernah mengalami gejala stroke hingga menyebabkan kepalanya terbentur lantai.
Kekayaan didapatnya terhitung milyaran, terbukti ketika aku disuruh mengecek pemasukan dan pengeluaran di buku rekeningnya. Bisnis jual dan beli tanah di wilayah Taoyuan dan Cungli. Tuan memulai obrolan singkat seputar beberapa pembantunya sebelum diriku, salah satunya pernah mencuri cincin mahal dari kamar anak pertamanya.
Pembantu itu bersikukuh tidak mengakui perbuatannya, alhasil semua kamera di setiap sudut ruangan diputar ulang dan menemukan bukti bahwa dia yang mengambil. Detik itu juga dilaporkan ke polisi tanpa belas kasihan atau pengampunan. Aku tak tega mendengarkan peristiwa itu diceritakan ulang, bisa kubayangkan bila harus berhadapan dengan mereka. Sosok keras mengandalkan jabatan tinggi dan uang untuk menyuap masalah apa pun untuk menang.
“Mungkinkah aku terlalu bodoh harus di sini?” bisik hatiku kian rapuh. Banyak kejadian menuntunku pada ketegaran jiwa, saat menghadapi sikap dan sifat mereka yang suka berbicara keras, kasar, dan menjatuhkan. Masih terngiang jelas perkataan Anna, “Majikanmu itu lebih galak dari serigala, siapapun menurut padanya, termasuk majikanku sebagai adik perempuannya. Dalam satu keluarga mereka sering mengambil banyak pembantu kaburan,” ungkapnya serius.
Setiap melewati sujud-sujud malam berurai genangan air mata, kutangkupkan sebuah harapan padaNya. “Ya Rabbi, berikan petunjuk buat hambaMu ini dalam menetukan pilihan,” aku bermunajat, merintih lembut pada Allah. Doa bermuara dalam rapuhnya hati, seketika bermonolog dengan kesunyian, berdiskusi lewat perenungan. Batin kian berkecamuk dengan gejolak keangkuhan, rela memenjarakan bahagia demi segelintir cita. Pengorbanan kali ini beradu dari keinginan nurani, terkoyak bersama puing-puing kepalsuan.
***
Tiada terduga, awal kemarahan nyonya bagai bom yang meledak, membuat jantungku berdegup tak henti. Sesekali tetap beristigfar, meski berurai air mata. Nyonya mengetahui kegiatanku berselancar di dunia maya lewat komputer. Dia tidak terima jika selama ini aku berkomunikasi lewat internet, kemarahannya itu terpancing dengan bisnisnya yang mengalami kebangkrutan.
“Wang pa tan!” ucapan kotor itu diarahkan ke wajahku, mulutnya maju beberapa senti, dan matanya geram dengan luapan api membara. Kobaran amarah kurasakan telah mengoyak kesabaranku selama ini, hingga aku memilih pergi dan menenangkan diri ke dapur. Di tempat itulah kutahan tangis sesenggukkan, rapuh sudah benteng pertahananku menghadapi kebenciannya. Kami sempat beradu mulut, “Mana ada seorang babu mainan internet, kamu tuh ya, jadi babu sok! Aku punya banyak babu di sana-sini itu tidak seperti kamu! Maunya kamu itu disanjung, iya kan?” matanya memerah, geram seperti seekor serigala siap menerkamku mentah-mentah.
“Nyonya, tidak semua pembantu sebodoh yang Nyonya bayangkan selama ini. Lagian saya berkomunikasi ini dengan biaya sendiri, tidak menyita waktu kerja. Mohon Nyonya mengerti, saya tidak merasa sok-sokan, tapi wajar bila saya harus menggunakan aplikasi untuk mempermudah jalannya informasi kepada siapapun, termasuk keluargaku di Indonesia,” aku membela diri.
“Alasan! Mulai sekarang, jangan main internetan, kalau tidak! Aku pulangkan kamu ke imigrasi setempat!” ancamannya sungguh-sungguh. Ujung telunjuknya menuding ke arahku, aku terdiam pasrah. Menghembuskan napas, sambil berpikir.
***
Anna berubah terhadapku, tak tahu alasannya kenapa. Akhirnya kuberanikan bertanya padanya,
“Mbak Anna, ada apa denganmu? Berbagilah,” sapaku ramah. Dia terlihat kecewa dengan perlakuan majikan menyuruhnya mengerjakan pekerjaan rumah sendiri, belum lagi tugas restaurant masih bertumpuk hanya dikerjakan dua tangannya saja. Bahkan, Anna mengaku dilarang dekat denganku.
“Kamu harusnya tahu, Renny. Di lantai dua rumahku itu ada 4 anak kaburan, tugasnya sama sepertiku, kasihan mereka,” kata Anna berbisik lirih di samping telingaku.
“Maksudmu, perempuan berwajah sawo matang dengan mata besar kemarin lusa itu orang Indonesia?” selidikku ketika pernah berpapasan di halaman rumahnya, sekaligus tempat tinggal nenek –ibu kandung nyonyaku— .
“Benar. Menjelang subuh mereka dibawa dalam mobil untuk disebar ke beberapa cabang restaurant di wilayah Taoyuan, termasuk Cungli, dan Linkou.” Pengakuan Anna membuatku semakin menyadari situasi.
***
Emosi telah menyulut api kemarahan perempuan kusebut nyonya itu, tangis di mataku tak dihiraukannya dan bahkan ponselnya telah menghubungi kepolisian setempat. Aku gugup, pasrah dengan tindakannya, karena polisi sewilayah Taoyuan telah mengenalnya. Posisi mengambil banyak anak kaburan pun tidak akan pernah bisa pernah menyeretnya ke jeruji penjara. “Apa yang harus kulakukan sekarang?” aku berpikir.
Bila ingat gajianku sudah dipotongnya 5000 NT tiap bulan, sekarang sudah bulan keempat, membuat aku kadang-kadang terjerat posisi pasrah. Akhirnya, dengan izin Allah, nyonyaku pun memintaku untuk mengalah, dia masih butuh tenagaku. Kusanggupi saja permintaan itu, meski sudah kukemasi seluruh barang dan koperku dalam kamar. Tubuhku bergemetar seraya merapal zikir tak berkesudahan.
“Nyonya, kumohon beri kesempatan buatku. Aku ingin bekerja di luar sana, lepaskan aku,” rintihku dengan isak tangis.
“Orang sepertimu ini tak boleh dilepaskan begitu saja,” jawabnya geram, mata sinisnya seakan menyilet nuraniku. Kejam sekali dia memperlakukanku selama ini. Percakapan itu telah memberikan keyakinan kuat untukku mencari waktu tepat pergi meninggalkan rumahnya. Tentu saja, tanpa sepengetahuannya dan anggota keluarga lainnya.
***
Hujan lebat membuat niatku sempat terurung, tapi entah apa yang terjadi, senja pukul 15:00 rinai derasnya berhenti, sementara sorot merah kekuningan cahaya mentari memasuki celah-celah jendela rumahku.
“Ini kesempatan baik,” gumamku.
Taksi berwarna kuning datang menunggu di pertigaan jalan, aku memasukkan seluruh barangku. Kepergianku tak diketahui oleh siapapun, termasuk nyonya dan tuan. Ada seorang teman di luar telah menunggu kedatanganku dengan harapan aku lolos dari cengkeram maut serigala.
Sesampai di Hsincu, aku sempat bermonolog dengan hatiku, mengikhlaskan uang 20.000 NT hasil keringatku. Sungguh! Perih kenyataan ini harus kuhadapi, untuk berpamitan dengan Anna pun aku tak sempat. Dalam kesunyian, memilih diam dan berpikir jernih menenangkan pikiran, meminta ampunan dan kemudahan pada Allah Swt.
Statusku seperti ini tak mudah untuk dipahami siapapun, termasuk diriku yang sudah terlanjur basah memilihnya. Kenangan flash back seakan membawaku pada peristiwa hampir terjatuhnya aku dari ketinggian 15 lantai saat mengelap kaca, belum lagi perlakuan nenek dengan menyuruhku bekerja 17 jam sehari. Jemari dan kukuku bernanah, semakin membusuk akibat dari deterjen cair mengandung bahan pemutih berdosis tinggi. Sarung tangan pun tak diberinya dengan dalih tak bersih, hingga aku harus terkekang dalam pasrah. Perjalanan gonta-ganti majikan menjadi pilihan menyambung cerita hidupku.
“Ya Allah, demi keluargaku tercinta di tanah air, berikan kemudahan untukku mendapat pekerjaan layak dan halal. Haruskah selalu kutanamkan tegar menghadapi duri kehidupan di negeri rantau ini? Berikan petunjukMu,” rintihku di atas sajadah, berurai deras linangan air mata, membanjiri isi dada.
***
Dua tahun berlalu, suami dan anak-anakku merindukanku. Hatiku tak tega, kerinduan semakin menghimpit sesaknya dada.
“Pulanglah! Tabunganmu sudah hampir 200 juta, Renny. Saatnya kamu menyerahkan diri. Kami semua merindukanmu, menunggu, ingin merasakan kehangatanmu hadir dalam pelukan Anton dan Santi,” pinta suamiku.
“Baik, Mas. Ini mungkin pilihan terbaik. Iya, kembali ke tanah air,” kumantapkan jawaban. Aku tergugu, ada wajah mereka tersenyum di layar depan ponsel, erat kugenggam.
The End