Papa mertua....papaku

2014-05-18 / iin / Papa mertua....papaku / Indonesia 印尼 / tidak ada


“Serem banget, sih…” desisku lirih
Kuamati lelaki berusia 60 th an yang berdiri di sebelah suamiku,
badan kekar, rambut cepak, kacamata hitam, kemeja hitam, celana panjang hitam, sepatu hitam. Wuiih, dandanannya kok mirip gangster-gangster cina di film-film Andy Lau yang dulu sering ku tonton, ya…
Ku lirik dua lelaki baya berpenampilan sama yg berdiri di sampingnya, ini bodyguardnya kali, ya pikirku dalam hati. Waduh, jangan-jangan aku mau di bohongi, nih.. jangan-jangan nanti aku di jual, jangan-jangan..
“Ying, ini papa… Pa, ini I ying..”, suara A thong membuyarkan lamunanku.
“ Pa…pa, ni hao..”kataku dengan terbata-bata sambil melempar senyum semanis mungkin.
Namun tanpa ekspresi papa cuma melirikku sekilas kemudian tanpa berkata sepatah katapun ia segera membalikkan badan sambil memberi isyarat kepada dua bodyguardnya untuk mengikuti. Aku tertegun melihat reaksi papa, dengan pandangan kosong kutatap sosok mereka yang makin menjauh.
A thong menarik tanganku perlahan, “ ayo jalan…” katanya lembut. Dengan berat kulangkahkan kaki mengikuti A thong, suamiku. Kutarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan berusaha untuk mengusir perasaan nyeri yang tiba-tiba menyelinap di relung hatiku.
Ya, itulah pertemuanku dengan papa mertua untuk yg pertama kali , bukan saat hari lamaran juga bukan saat resepsi pernikahan tetapi di terminal kedatangan bandara Taoyuan saat menjemputku beberapa bulan kemudian setelah pernikahanku .

Tak kenal maka tak sayang, mungkin itu pepatah yg cocok untuk menggambarkan papa mertua. Meski kesan pertama begitu galak dan dingin, sebenarnya sifat papa yang sesungguhnya adalah sosok yg lembut dan penyayang. Beberapa hari setelah tinggal bersama mereka, adik ipar bercerita kalau saat menjemputku hari itu awalnya suamiku mau pergi sendiri tak mau merepotkan papa tapi papa bersikeras harus ikut sebagai bentuk penghargaan dan penerimaan terhadap menantu, papa juga beranggapan semakin banyak yang menjemput semakin membuatku “punya muka” jadi itulah sebabnya papa ajak dua temannya dan mereka yang biasanya kesehariannya bercelana pendek hari itu demi aku sampai bela-belain berpakaian begitu resmi . Sayang suamiku salah mencatat jam kedatangan hingga membuat mereka menunggu 8 jam di bandara. Mungkin itulah sebabnya sikap papa hari itu tidak bersahabat, habis sebenarnya papa mau “kasih muka” ke aku ternyata malah papa yang “kehilangan muka” terhadap teman-temannya.

Papa juga sosok yang tidak pantang menyerah. Dulu sewaktu kecil papa di buang oleh keluarganya dan di asuh oleh keluarga angkat, perlakuan ibu angkat yang buruk membuat papa kecil hari-harinya penuh dengan makian dan pukulan. Ibu angkat sering tidak memberi makanan maka papa sering mengorek-orek tempat sampah atau mencuri buah-buahan milik tetangga demi mengganjal perut yang kelaparan. Masa kecil yang menderita menempa sifat papa menjadi sifat yang tahan banting dan pekerja keras dengan usahanya sendiri papa akhirnya mampu menyelesaikan kuliah dan menjadi sebuah dosen di sebuah universitas terkenal di Tainan. Dan hebatnya, setelah papa pensiun, dia tidak lalu berleha-leha dengan santai mengisi masa tuanya tetapi papa kembali belajar keras mempelajari bidang pengobatan tradisional hingga akhirnya papa lulus ujian dan memperoleh ijin membuka praktek sebagai tabib tradisional atau sinshe. Terkadang papapun memberitahuku bagaimana menimbang obat atau mengenalkan berbagai jenis rumput obat termasuk khasiat dan cara pengolahannya, cuma sayang otakku yang sederhana ini tak mampu menyerap dengan baik ilmu yang papa ajarkan sehingga aku lebih banyak lupa daripada ingatnya.

Papa hobi membaca, menonton film, mendengarkan music dan koleksi cangkir teh. Saat menonton dvd, papa sering mengajak siapa saja yg saat itu ada di rumah untuk menonton bersamanya. Papa, mama, adik ipar, suami dan aku, sering kami berlima berdesakan memenuhi kamar papa hanya untuk menonton suatu acara atau mendengarkan musik. Pernah beberapa kali papa menyuruhku meninggalkan pekerjaan rumah yang tengah kukerjakan untuk menonton bersamanya, awalnya aku merasa jengah karena di budaya ku terasa aneh bila menantu dan mertua laki-laki cuma berduaan saja di dalam kamar maka aku sering menolak dengan alasan pekerjaan rumah yang tidak bisa kutinggalkan, tapi lama kelamaan setelah mulai mengenal papa aku mulai memberanikan diri untuk menemani papa menonton. Bersama papa, duduk menonton dvd sesungguhnya adalah satu hal yg seumur hidup belum pernah ku lakukan bersama papaku sendiri. Ada segunung perasaan haru yang mendesak di dada, ada kehangatan yg mengalir di relung hatiku saat aku dan papa bertukar pendapat tentang alur cerita yang kami tonton atau memberi komentar tentang konser, tehnik menyanyi atau penampilan para bintang film. Hubungan keluarga merekapun sangat harmonis, bahkan adik ipar yang sudah remajapun masih sering bergelendotan dengan manja di lengan papa, memeluk atau mencium papa. Kata I love you sangat sering kudengar di rumah ini dan bukan cuma antara mereka saja, beberapa minggu kemudian papa, mama dan adik iparpun mulai mengatakan I love you padaku.
Oh, budaya yg begitu mesra dan hangat tapi jujur saja aneh, sangat aneh bagiku karena aku tak terbiasa mendengar ataupun mengucapkannya. Aku masih sering tergagap dan kikuk untuk menjawab sehingga terkadang aku cuma tersenyum atau menjawab dengan lirih sekali.

Setelah aku mempunyai dua anak, perhatian dan kasih sayang papa juga terasa sekali untuk cucu-cucunya meski kemudian kami tidak lagi tinggal serumah. Kulkas kecil di kamarnya pasti selalu terisi kue nanas karena papa tahu itu kue kesukaan cucu laki-lakinya Daniel, atau selalu membawa kami makan beef steak karena papa tahu itu makanan kesukaan cucu perempuannya Winnie, memelihara hewan2 kecil mulai dari ikan, kura-kura hingga tikus, membeli dvd-dvd kartun, merelakan waktu tidurnya untuk menemani cucu menari-nari atau merelakan acara tv kesukaannya untuk membawa cucu-cucu ke taman.
Dengan kehadiran kedua cucunya ini tidak berarti papa kemudian melupakan aku, papa pernah memarahiku gara2 aku tidak memberitahunya kalau aku demam. Papa bilang,” Ying, kamu itu anak perempuanku, sampai kapanpun aku tetap mengkhawatirkanmu”. Betapa terharunya aku saat itu, serasa kutemukan lagi kasih sayang orang tua yang kupikir tak kan dapat ku rasakan lagi setelah meninggalkan bumi pertiwi.

Namun, hari baik tidak berlangsung lama… kami berlima menundukkan kepala dalam-dalam bersusah payah menahan airmata saat papa bilang dia sakit kanker usus stadium 3. Suasana kamar yang hening membuat suara isakan tangis adik ipar terdengar begitu jelas. Hatiku seperti di tusuk beribu jarum,” Aku tak percaya, aku tak mau percaya, ini pasti mimpi… papa yang selalu terlihat segar bugar, papa yang selalu ceria.. tak mungkin”,batinku berontak.
Adik ipar menangis di pelukan papa. Suamiku terpekur di sudut kamar, mama berdiri sambil menarik tanganku pelan, kudongakkan kepala dan kulihat papa melambaikan tangan, seperti melayang tanpa pikir panjang aku menghambur ke arah papa dan dengan airmata berderai kupeluk papa….papaku.

Status papa sebagai sinshe membuat papa bersikeras untuk tidak melakukan kemoterapi atau operasi, dia ingin mengobati kankernya dengan obatnya sendiri. Selain obat, papa juga sangat memperhatikan asupan gizi yang di konsumsinya setiap hari, papa mulai menghindari daging, ikan, atau makanan bergizi lainnya, santapannya hanya berupa bubur sayur-sayuran yang diblender lembut dan air putih. Papa bilang hal ini dia lakukan agar sel kanker kekurangan gizi hingga akhirnya akan mati dan memang papa berhasil, 6 bulan kemudian dari hasil cek dokter ternyata tumor di ususnya tidak membesar, meskipun pada awalnya dokter masih meragukannya tapi dari hasil cek yang kedua kali akhirnya dokterpun memastikan bahwa tumor papa benar-benar mengecil. Kami bersorak lega dan bergirang mendengar kabar baik ini, harapan untuk kesembuhan papa terasa begitu besar dan nyata sekali.
Tapi ternyata kebahagiaan kami terlalu dini, cobaan ini belum berakhir. Sel kanker melemah jantung papapun ikut tak berdaya, asupan gizi yang kurang di tambah lagi obat tradisional yang di minum ternyata semuanya menguras daya tahan tubuh papa dan ini yang menyebabkan jantung papa melemah . Meskipun tahu resikonya akhirnya papa mengambil keputusan untuk operasi memasang per di jantung. Operasi memang berhasil tetapi papa di hadapkan pada dua pilihan, jantung atau kanker. Kasihan papaku, dia ada di persimpangan karena untuk pemulihan jantung papa perlu gizi tetapi gizi akan menyebabkan kanker kembali tumbuh. Papa bilang tak akan menyerah pada dua-duanya, berjanji akan terus bertahan hingga nafas terakhirnya.

Harapan yang awalnya begitu besar lama kelamaan menipis seiring dengan kondisi papa yg semakin lama semakin ringkih dan seharusnya melihat kondisi papa yg menurun aku mesti lebih meluangkan waktu untuk menjaganya, seharusnya dalam keadaan seperti ini aku mesti lebih memperhatikan papa, seharusnya…. Ahh, betapa tak berbaktinya aku. Kesibukanku menjaga dua anak dan bekerja menjadi alasanku untuk tidak bisa menjaga papa sepenuh waktu. Aku menjadi jarang menjenguk papa, saat menjengukpun di karenakan kondisi papa yang lemah membuat kami semakin jarang mengobrol. Hubungan kami makin renggang, makin jauh…
Hingga suatu hari terjadi perselisihan kecil antara aku dan mama, tapi parahnya bukannya aku merendahkan diri meminta maaf ee..malah bersikeras merasa tak bersalah hingga membuat masalah semakin lama semakin besar dan api pun tak bisa di padamkan. Suami yang berusaha membantuku ternyata malah memperburuk suasana hingga papa yang terjepit di tengah, di puncak kemarahannya memilih untuk memutuskan hubungan dengan kami. Papa memberi votum untuk tidak usah telepon atau datang ke rumahnya lagi kecuali saat ia akan menutup mata baru kami diperbolehkan untuk datang menjenguknya.
Penyesalan memang selalu datang terlambat, pintu maaf benar2 telah tertutup, apapun usaha yg kami lakukan untuk menjenguk papa selalu gagal, bahkan cucupun papa tak mau bertemu lagi. Ternyata kami benar-benar membuat papa kecewa, hati papa sudah hancur.

Hubungan kami benar-benar sampai di titik beku, tak ada lagi kontak dengan mereka hingga tiba-tiba pada suatu malam mama menelepon memberi kabar kalau papa dalam kondisi koma di ruang gawat darurat dan kami boleh datang menjenguk. Aku dan suami segera terbang menuju rumah sakit, sampai di sana hatiku serasa di rajam batu melihat sosok kurus yang tubuhnya di penuhi berbagai selang yang ada di depan mataku. Papaku, papa yang kekar dan angker itu….
Dokter menyentuh tangan suamiku pelan,” Papa sudah tidak sadar, ajak bicara sebisa mungkin, siapa tahu ada mujizat”.
“Tuhan”, batinku menjerit,”Beri kami waktu Tuhan, kalau mujizat itu ada… tunjukkan saat ini Tuhan…”.
Suamiku melangkah mendekati ranjang, meletakkan tangannya yg gemetar di atas kening papa dan mengelusnya lembut lalu mendekatkan bibirnya di telinga papa,”Pa…papa”, bisiknya.
Mama dan adik ipar saling berpelukan menahan tangis, aku hanya mampu berdiri memegangi ranjang dan menatap kaki papa yg begitu kurusnya. Bahkan…bahkan memegang kakinyapun aku tak layak, desisku. Jauuh, begitu jauuh.. papa dan aku… suaranya saat menyanyi, tertawa, jogetannya yang aneh dan lucu, gurauannya, nasehatnya, bahkan suara langkah kakinya pun masih terngiang jelas di telingaku. Kakinya..kakinya..? ku hapus air mata yg tergenang , setengah tak percaya ku buka lebar2 mataku, kakinya…ibu jari kaki papa bergerak…
“Dokter…,ma…”, panggilku sambil menunjuk ibu jari kaki papa yg bergerak lemah.
Dokter dan semua yang ada di sekitar papa terkejut lalu serentak segera mengambil segala macam tindakan dan peralatan untuk memeriksa papa. Setengah tak percaya semua mata melihat monitor, detak jantung papa… garis datar itu pelan-pelan berubah menjadi gelombang yang teratur tinggi rendahnya, pelan namun pasti.

Papa benar-benar seorang pejuang sejati dan cintanya pada keluarga benar-benar tak tertandingi, setelah agak sehat papa bercerita bahwa saat itu sebenarnya dia sudah ada di suatu aula besar yang semua pilarnya terbuat dari emas, papa bilang di sana ia sedang di sambut oleh banyak sekali malaikat yg berpakaian warna emas pula, tak ada rasa sakit tak ada rasa sedih yg ada hanya kedamaian dan keteduhan yg tiada tara. Tapi tiba-tiba di tengah-tengah riuhnya suara para malaikat itu, papa mendengar satu suara yg begitu di kenalnya memanggil, “ pa..papa..”.
Suara suamiku, suara yg begitu di cintainya telah menyadarkan papa , papa merasa suamiku membutuhkannya maka papa memutuskan untuk kembali.

Selama papa masih di rawat di rumah sakit, kami boleh datang setiap waktu dan anak-anakpun sangat senang setiap kali kuajak menjenguk karena papa masih seperti yang dulu selalu suka mengubah-ubah ekspresi wajahnya menjadi ekspresi-ekspresi lucu untuk membuat anak-anak tertawa gembira. Kami merekam suara anak-anak yang memberi semangat agar papa cepat pulih, papa sangat senang mendengarnya dan meminta agar di putar setiap saat. Terkadang aku membawa buku-buku cerita agar papa bisa membacakan untuk anak-anak atau sebaliknya. Foto-foto, lukisan maupun prakarya anak-anak juga kami tunjukkan ke papa untuk menarik lagi hubungan kami. Tapi, ternyata kaca yg retak tak mungkin utuh seperti semula, dua mingguan kemudian papa keluar dari rumah sakit tanpa memberi tahu kami, malam itu saat menjenguknya perawat memberitahu kalau papa sudah pulang ke rumah dan saat kutelepon, adik ipar bilang papa tidak mau di temui lagi.
Entahlah, aku lupa bagaimana perasaanku saat itu namun meski merasa bingung dan tak habis pikir, aku dan suami juga tidak bisa berbuat apa-apa. Hubungan kami dengan papa kembali seperti dulu..beku.

Namun kejadian ini terjadi kembali setiap kali papa dalam keadaan gawat dan di rawat di rumah sakit. Selama masih disana kami di perbolehkan menjenguk dan setelah papa pulih hubungan kami kembali seperti semula. Memang pada awalnya aku tidak bisa menerima hal ini, merasa seperti di permainkan dan tak berharga. Sungguh aku merasa sedih dan sakit tetapi lama kelamaan aku dan suamipun hanya bisa pasrah dan mengikuti saja, kami cuma berharap yang terbaik untuk papa dan berusaha memanfaatkan kebersamaan yang ada dengan sebaik-baiknya. Hanya saja aku menjadi trauma setiap kali mendengar suara sirene ambulan, aku kaget dan was-was jangan-jangan ambulan itu mengantar papa yang kondisinya kembali gawat ke rumah sakit.

2012 awal Agustus, entah untuk yang keberapa kalinya aku kembali di telpon mama utk menjenguk papa. Kali ini aku tertegun sesaat di ujung ranjangnya, keadaan papa benar-benar membuatku syok. Tubuh papa tinggal tulang yang di balut kulit, wajahnya yang beberapa waktu lalu sudah tirus sekarang semakin terlihat cekung dan yang paling membuat aku terperangah adalah sorot matanya yang sayu, amat sayu. Kuanggukkan kepala pada mama yang beranjak dari tempat duduknya memberi tempat untuk aku dan suami. Kulihat suamiku menyeka airmata di sudut matanya, dia duduk dan mengelus kepala papa yang tanpa rambut sehelaipun, suamiku tak mampu berkata-kata lagi, aku bisa rasakan kepedihan hatinya. Tanpa bersuara aku duduk di kursi sebelah ranjang, mata papa tetap sayu dan memandang lurus kedepan seakan tak menyadari kehadiran kami. Begitu tenangnya papa terbaring di ranjang hingga mataku mesti memperhatikan dengan seksama baru bisa mendapati gerakan nafas di dada tipisnya, gerakan yang sangat lambat dan lemah. Kugenggam dengan hati-hati karena takut menyakiti tangan kurusnya,” Pa..ini I ying”, kataku pelan. Bola mata hitam papa bergerak sebentar seakan mengenali suaraku, terasa sedikit gerakan tangannya berusaha membalas genggaman tanganku. Kulihat bibirnya bergerak perlahan dan segera kudekatkan telingaku,” Ai ni”, bisik papa lemah. Airmata mengambang di sudut mataku dengan suara gemetar aku berbisik,”Wo ye ai ni”. Lalu papa sedikit menggerakkan kepala kearah suamiku, bola mata hitamnya kembali berputar sesaat, suamiku masih mengelus kepala papa penuh kasih dan tak lama kemudian papa menutup matanya, tertidur. Ayah dan anak, tak ada kata-kata tak perlu kata-kata, bahasa cinta mereka dalam diam pun bisa mengungkapkan segalanya.

Kata mama, kanker papa sudah stadium akhir sekarang hanya mengandalkan suntikan heroin untuk mengurangi rasa sakitnya, jadi kalau heroin yang di berikan terlalu sedikit papa akan merasa sangat kesakitan sedang kalau terlalu banyak akan membuat papa kehilangan kesadaran. Seperti apapun ahlinya seorang dokter, aku yakin tetap akan susah menentukan kadar yang tepat untuk papa, tak heran kondisi papa setiap saat bisa berubah. Bila kondisinya agak baikan, papa akan banyak bercerita, apapun di ceritakannya mulai dari masa kecilnya yang pahit, traumanya terhadap bak cang ataupun bercerita tentang kebanggaannya saat mewakili Taiwan untuk mengikuti pertandingan tekwondo dan bila kondisinya kurang fit papa biasanya akan banyak diam mendengarkan cucu-cucu bercerita atau mendengarkan mereka menyanyi. Yang paling membuat aku trenyuh adalah bila saatnya perawat hendak melakukan pemeriksaan atau sekedar mengganti popok, papa pasti akan menyuruh kami keluar dari kamar dan tak pernah memperbolehkan kami membantu. Awalnya kami pikir papa merasa malu, tapi dari cerita perawat baru kami tahu ternyata papa tidak mau kami merasa sedih karena melihat dia kesakitan. Memang kondisi papa sudah sangat payah, tubuhnya ah.. lebih tepat di sebut tulang, setiap jengkalnya di hiasi dengan titik-titik hitam bekas suntikan, kulit punggungnya mengelupas karena berbaring terus di ranjang, selengkangan papa juga infeksi karena lembab disebabkan oleh pemakaian popok dalam jangka waktu lama, jadi seluruh tubuh papa jangankan untuk bergerak, di sentuhpun sudah setengah mati sakitnya. Papa tahu kami akan sangat sedih melihat keadaannya maka dia selalu berusaha menyembunyikan rasa sakitnya. Papaku malang, dalam penderitaannya yg begitu berat tetap selalu memperhatikan kami, keluarganya.

Hari itu, 21 agustus adalah ulang tahun Winnie, papa masih sempat mengucapkan selamat ulang tahun lalu mencium kening cucu kecilnya kemudian memejamkan mata sambil mendengarkan celotehan cucu-cucu dan papa memejamkan mata untuk selamanya.22 Agustus 2012 pagi, papa menghembuskan nafasnya yg terakhir di kelilingi orang-orang yang ia cintai. Sekali lagi papa membuktikan cintanya yg besar dengan tidak meninggalkan kami di hari ulang tahun cucunya.

Kasih sayang yang ku terima dari papa tak kan pernah kulupakan seperti kepergiannya yang akan menjadi luka yang tak pernah sembuh di hatiku,. Meski kadang aku masih merasa menyesal dengan hubungan kami yg sempat retak tapi aku berterima kasih atas kebesaran jiwa papa yg masih memberi kami kesempatan untuk memperbaiki di hari-hari terakhirnya. Beberapa hari sebelum kepergiannya hubungan kami begitu dekat, papa utarakan harapannya agar kami bisa membuka usaha sendiri, papa memberi semangat agar kami berani untuk mencoba, kalau takut gagal ya mesti berusaha semaksimal mungkin untuk tidak gagal katanya. Aku tahu, setiap kami datang menjenguk, selemah apapun keadaannya, papa berusaha untuk menutupinya dengan gurauan. Waktu suamiku bilang nanti kalau buka rumah makan, papa yang jadi bagian kasirnya, papa menjawab dengan enteng dia tidak bisa menunggu selama itu, tapi dia akan datang pada hari pembukaan dengan menyamar sebagai wanita memakai gaun cheongsam warna merah. Meski aku tidak begitu paham maksud gurauan papa, tapi ekspresi wajahnya yang lucu masih tergambar jelas di ingatanku. Saat papa sendiri, dia habiskan waktu untuk menggambar denah rumah makan masa depanku dan membuat rencana-rencana jenis masakan apa yang bisa di jual. Papa begitu bersemangat untuk membantu karena dia merasa bersalah tidak mampu meninggalkan harta warisan bagi kami.
Papa, tahukah engkau, cinta dan kasih sayangmu yang tak pernah berhenti adalah harta yang tak ternilai bagi kami, semangat hidup dan perjuanganmu adalah pelajaran yang akan selalu menjadi teladanku. Terakhir aku memimpikan papa, dia mengelus rambutku dan berkata “Waktu akan mengobati semua luka, waktu akan membuatnya menjadi tawar”.
Papa, terima kasih untuk semua kasih sayang yang engkau berikan, kau telah memafkan aku , aku akan belajar untuk memaafkan diriku sendiri. Pesanmu agar aku menjaga baik-baik suami dan anak-anak pasti akan ku lakukan, dan coretan penamu terakhir yg akan selalu memotivasiku.. 奮鬥berjuang.