SYAL BIRU DARI AMA

2014-05-06 / Disyak Ayummy / SYAL BIRU DARI AMA / Indonesia 印尼 / Tidak ada


SYAL BIRU DARI AMA


Ibu adalah malaikat tanpa sayap yang paling dekat dengan kita. Sayangi dan bahagiakanlah dia, selagi kamu masih punya waktu dan kesempatan.

*****

Hampir dua tahun aku bekerja merawat seorang ama yang berusia 78 tahun. Ama masih lumayan sehat, meski punya penyakit jantung. Jadi aku harus ekstra hati-hati dalam menjaga dan merawatnya. Ama tidak boleh telat minum obat atau terlalu capek. Kami tinggal berdua di sebuah perumahan, dekat danau Lantan, Chiayi. Kedua anak laki-laki ama tidak bisa tinggal bersama kami, karena kesibukan mereka di kota lain


Anak pertama ama bernama tuan Cheng. Dia sudah menikah dan tinggal di kota Tainan. Sesekali dia datang ke rumah ini untuk menjenguk ama. Namun, aku tidak pernah melihat istri tuan Cheng karena dia selalu datang sendirian, meski Konien sekali pun. Sementara anak kedua ama bernama tuan Yayu. Dia belum menikah dan sekarang bekerja serta tinggal di Jepang. Enam bulan sekali dia pulang dan tinggal di sini selama satu minggu.


Akhir-akhir ini kesehatan ama sedikit menurun. Beberapa kali penyakit jantungnya kambuh, sehingga membuat dia harus keluar-masuk rumah sakit.


Seperti siang ini, saat kami sedang makan tiba-tiba penyakit jantung ama kembali kambuh. Dia sempat pingsan sebelum mobil ambulans yang aku telpon, datang. Dalam perjalanan ke rumah sakit, seperti biasa aku segera menelpon tuan Cheng, untuk mengabarkan keadaan ama. Malamnya tuan Cheng datang ke rumah sakit untuk menjenguk ama. Lagi-lagi dia datang sendiri tanpa istrinya.


Selama dua minggu lebih ama dirawat di rumah sakit, tuan Cheng hanya datang dua kali. Namun, saat ama diperbolehkan pulang, tuan Cheng menyempatkan diri datang ke rumah sakit. Dia bilang, ingin mengajak ama tinggal beberapa hari di rumahnya, karena dia ingin ikut merawat ama. Akhirnya, kami pun pulang ke rumah tuan Cheng di kota Tainan.


Tuan Cheng tinggal di sebuah apartemen yang lumayan besar, bersama istrinya --nyonya Yi Ming. Namun, ternyata kedatanganku dan ama tidak diinginkan oleh nyonya. Dia terang-terangan menolak kedatangan kami di rumah ini. Baru saja kami masuk ke dalam rumah, nyonya sudah menunjukkan sikap tidak sukanya.


"Pa, ngapain kamu bawa mereka ke sini?" tanya nyonya dengan tatapan sinis ke arah kami.


"Ibu baru saja keluar dari rumah sakit dan masih lemah. Jadi, untuk sementara waktu aku ingin mereka tinggal di sini, sampai ibu benar-benar sehat. Sekalian aku ingin ikut merawat ibu, di sini, " jawab tuan sambil mempersilakan kami duduk. Aku dan ama pun duduk di sofa, meski agak ragu dan rasanya tidak enak hati.


"Buat apa kamu ikut merawat ibu? Bukankah sudah ada orang Indonesia itu?" kata nyonya sambil menunjukku. "Kalau dia tidak bisa merawat, kirim saja ibumu ke panti jompo. Kalau mereka akan tinggal di sini, bisa-bisa biaya bulanan kita membengkak untuk menghidupi mereka."


Aku sangat terkejut dan tidak percaya dengan apa yang barusan nyonya ucapkan. Bagaimana mungkin seorang menantu menolak, bahkan seolah membenci mertuanya sendiri? Bukankah dia juga seorang wanita, yang kelak akan menjadi ibu dan juga seorang mertua?


"Ma! Dia itu ibuku! Ibu yang melahirkan dan membesarkanku. Jadi apa salahnya kalau aku ikut merawatnya." Kali ini suara tuan agak keras. Ama menggenggam tanganku erat melihat pertengkaran mereka di depan matanya. Kurangkul ama dan kubelai punggungnya pelan, untuk menenangkannya. Aku khawatir penyakit jantungnya akan kambuh lagi jika melihat tuan dan nyonya bertengkar.


"Baiklah ... tapi jangan lama-lama tinggal di sini." kata nyonya sebelum dia masuk ke dalam kamarnya.


Sepeninggal nyonya, tuan segera menghampiri kami berdua. "Ibu, tidak apa-apa kan? Maafkan istriku ya, Bu," kata tuan sambil mengusap tangan ama.


"Ibu tidak apa-apa, Cheng. Mungkin istrimu benar, sebaiknya ibu pulang saja ke Chiayi. Ibu tidak mau kamu bertengkar dengan istrimu, hanya gara-gara ibu." Ama mencoba bangkit dari duduknya dan meraih tas yang berisi baju-bajunya. Saat aku ingin mengambil alih tas itu dari tangan ama, ternyata tuan lebih dulu meraih tas itu, dan berusaha mencegah kepergian ama.


"Saya mohon Ibu tetap tinggal di sini. Ijinkan saya ikut merawat Ibu meski hanya beberapa hari." Kembali tuan Cheng mencoba membujuk ama. "Kumohon, Bu ...."


"Hmm ... baiklah ...," jawab ama agak sedikit ragu.


"Terima kasih, Bu," kata tuan Cheng sambil memeluk ama. Kemudian tuan Cheng mengantar kami ke kamar yang terletak agak belakang, tempat kami beristirahat.


Baru lima hari tinggal di sini, rasanya aku dan ama sudah tidak betah. Aku sungguh kasihan dengan ama, karena nyonya masih saja tidak mau menerima kehadirannya di rumah ini. Nyonya bersikap baik, hanya pada saat tuan berada di rumah. Jika tuan Chen pergi kerja, nyonya selalu memperlakukan kami seperti seperti orang asing.


Aku tidak diperbolehkan menggunakan mesin cuci untuk mencuci baju ama. Bahkan mengambil air minum dan memasak bubur buat ama, juga tidak boleh. Ama sendiri tidak diperbolehkan menonton Tv, tidak boleh keluar kamar, dan tidak boleh mandi pakai air hangat. Kami hanya diperbolehkan makan sehari dua kali, yaitu saat tuan Cheng ada di rumah. Pagi dan malam. Untuk makan siang dan persediaan air minum, aku terpaksa membeli di luar. Ingin rasanya aku mengadukan perlakuan nyonya kepada tuan, tapi selalu dicegah oleh ama.


"Jangan, Yumi. Kasihan Cheng, nanti dia bertengkar lagi dengan istrinya. Aku ikhlas dengan perlakuan menantuku padaku," cegah ama saat kuutarakan maksudku untuk mengadu pada tuan. Aku pun terpaksa menuruti ucapan ama. Betapa mulianya hati ama, dia tidak pernah membenci nyonya Yi Ming, meski menantunya itu memperlakukannya tidak baik.


Hari ini tuan Cheng pulang lebih awal. Saat aku membukakan pintu untuknya, aku melihat tuan membawa beberapa tas belanjaan bertuliskan sebuah nama super market terkenal.


"Yumi, ini syal dan jaket buat ama. Sedangkan yang ini, jaket buat kamu," kata tuan sambil menyerahkan tas belanjaan itu, padaku.


"Terima kasih, Tuan," jawabku sambil membungkuk. Aku segera membawa barang pemberian tuan ke kamar, dan kutunjukkan pada ama.


"Ama, sini saya bantu untuk memakainya," kataku sambil membantu ama memakai jaket dan syal dari tuan. "Wah, warnanya cocok sekali. Ama jadi tambah cantik dech pakai syal warna biru ini."

Ama hanya tersenyum saja mendengar pujianku. Kemudian dia melepas syal itu dan disodorkan padaku. "Yumi, syal ini buat kamu saja. Kamu baik. Kamu menyayangiku lebih dari menantuku. Terima kasih telah menemani dan merawatkuku selama ini. Pakailah ...."


"Ta-tapi, Ama ... tuan membelikan ini untuk Ama. Nanti kalau tuan ...," jawabku agak ragu.


"Tuan tidak akan marah. Ambillah, anggap saja hadiah dariku."


"Terima kasih, Ama." Aku pun memakai syal warna biru itu, lalu berputar dan bergaya di depan ama, seperti seorang foto model. Kemudian kami berdua tertawa bersama.


Disaat kami tengah tertawa, tiba-tiba terdengar tuan dan nyonya bertengkar di ruang tamu. Sepertinya nyonya tidak suka jika tuan membelikan kami barang-barang tadi.


"Kenapa Papa menghambur-hamburkan uang buat mereka?" tanya nyonya dengan suara yang tinggi.


"Sekarang sedang musim dingin, jadi apa salahnya kalau aku membelikan jaket dan syal untuk mereka?"


"Kalau Papa terus-menerus memanjakan mereka seperti ini, kapan kita bisa beli rumah yang lebih besar dan mobil baru?"


"Cukup, Ma! Kenapa kau tega sekali perhitungan dengan Ibu? Selama ini ibu sudah memberiku segalanya, tapi dia tidak pernah meminta balasan apapun. Bahkan dia tidak pernah marah saat aku tidak bisa menemani di hari tuanya." Kali ini suara tuan tak kalah keras dari nyonya.


Mendengar pertengkaran itu, wajah ama terlihat sedih. Senyum yang baru saja menghiasi wajahnya, seketika hilang. Kemudian ama memintaku untuk berkemas.


"Yumi, sebaiknya kita pulang saja ke Chiayi. Aku tidak mau jadi beban Cheng. Kasihan dia ...," perintah ama padaku.


Aku segera memasukkan baju dan beberapa barang lainnya ke dalam tas. Kemudian aku menuntun ama keluar kamar, menghampiri tuan dan nyonya masih bertengkar di ruang tamu.


"Sudah ... sudah, jangan bertengkar lagi. Istrimu benar, Cheng, tidak seharusnya ibu menjadi beban kalian. Sebaiknya ibu pulang saja ke Chiayi," kata ama sambil menghampiri tuan dan nyonya.


"Tapi, Bu ...," kata tuan Cheng ragu.


"Ibu tidak apa-apa, kan ada Yumi di samping ibu. Dia bisa menjagaku." Ama mengusap lengan tuan Cheng. Seolah ingin meyakinkan tuan Cheng, kalau dia memang tidak apa-apa.


Aku tahu ama berusaha menyembunyikan tangis kesedihannya. Meskipun bibirnya tersenyum tapi tangan ama gemetar saat menggenggam tangan dengan kuat.


"Cheng, Yi Ming, ibu pamit pulang. Tidak usah diantar. Biar nanti ibu cari taxi di bawah," pamit ama.


Lalu aku dan ama melangkah ke pintu depan, meski tuan masih berusaha menahan kami. Sebelum keluar rumah, aku sempat melihat nyonya duduk terpaku di sofa. Dia sama sekali tidak mau memandang ke arah kami. Bahkan sepatah kata pun tidak terucap dari bibirnya.


Begitu masuk ke dalam taxi, ama langsung memelukku sambil menangis.


"Yumi, apa karena aku sudah tua, sehingga mereka menganggap aku sebagai beban dan tidak mau menerimaku?" tanya ama diantara isak tangisnya.


"Ama jangan menangis, masih ada Yumi di sini yang sayang dan akan merawat Ama," hiburku sambil mengusap-usap punggung ama.


Baru saja taxi yang kami tumpangi keluar dari jalan tol, ama yang tengah tertidur tiba-tiba merintih sambil mendekap dadanya. Sepertinya penyakit jantung ama kambuh lagi. Aku segera mencari obat jantung ama di dalam tasku, tapi sampai seluruh isi tas aku keluarkan, tak juga kutemukan obat itu. Mungkin tertinggal di rumah tuan Cheng. Aku dan supir taxi pun panik dan ketakutan melihat keadaan ama.

"Ama, tahan sebentar ... tahan ... Ama," pintaku sambil memeluk tubuh ama yang masih terus merintih. Air mataku mengalir deras melihat keadaan ama yang berjuang melawan rasa sakit, di dadanya.


"Apa yang terjadi dengan Ama?" tanya supir taxi itu sambil menepikan mobilnya.


"Tuan, tolong segera panggilkan ambulans ke sini. Tolong ...," pintaku pada supir taxi itu. "Ama bertahanlah ... aku mohon bertahanlah ...."


Kupeluk tubuh ama dengan erat. Aku sungguh tak tega melihat wajahnya yang semakin pucat dan susah bernapas. Perlahan tubuh ama terkulai lemas. Matanya tertutup rapat.


"Amaaa ...!! Tidak ...!! Ama, aku mohon bagunlah ... bangun Amaa ...!!" Kugancang-goncangkan tubuh ama, tapi dia tetap diam. "Tuan cepat panggil ambulans-nya. Cepaatt ...!" Aku berteriak panik diantara tangisku yang semakin keras.


"Su-sudah Nona. Sebentar lagi mobil ambulans-nya sampai," jawab supir taxi itu dengan gugup.

****

Aku masih terduduk lemas di sebuah kursi di Energy room, saat nyonya dan tuan Cheng tiba di rumah sakit.


"Yumi, ba-bagaimana keadaan ibuku?" tanya tuan Cheng sambil memegang pundakku.


Kupandangi wajah tuan Cheng dan istrinya secara bergantian. Hatiku terasa pilu bila ingat kelakuan nyonya yang menyia-nyiakan ama di usia tuanya. Aku hanya bisa menggeleng dan menunjuk ke arah ranjang yang dikelilingi gorden, tanpa bisa berkata apa-apa.


Perlahan tuan dan nyonya melangkah menghampiri gorden itu. Sementara aku mengikuti di belakangnya.


"Keluarga ama Wang ...?" tanya seorang dokter yang keluar dari dalam gorden itu, diikuti beberapa suster.


"Iya, Dok, saya anaknya. Bagaimana keadaan ibu saya, Dok?" tanya tuan Cheng dengan wajah gugup.


"Maaf Tuan, ibu anda tidak dapat kami selamatkan. Dia baru saja pergi untuk selamanya," jawab dokter itu sambil menepuk pundak tuan.


"Ibuu ... maafkan aku, Bu ...." Tubuh tuan Cheng terlihat lemas dan.limbung. Aku dan nyonya segera memegangi tubuh tuan dan memapahnya mendekati jasad ama. Dengan tangan gemetar, tuan membelai wajah ama yang terlihat tenang dalam tidur panjangnya. Kemudian tuan mencium kening ama. Suara isak tangisnya terdengar lirih, dan air matanya menetes membasahi wajah ama. Sementara nyonya berusaha menenangkannya sambil terus menerus meminta maaf pada tuan dan ama. Namun, semuanya sudah terlambat. Penyesalan dan air mata nyonya tak akan bisa mengubah takdir. Kini ama telah pergi untuk selamanya.


Aku hanya bisa terpaku melihat jasad ama. Ama yang malang dan kesepian. Ama yang tak pernah mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari kedua anaknya, di hari tuanya. Bahkan ama pergi dengan sejuta luka akibat perlakuan menantunya.


"Selamat jalan, Ama. Semoga kau temukan kebahagian abadi di sisi Tuhan." Kuhapus air mataku dengan syal biru pemberian ama. Syal yang akan selalu mengingatkanku pada sosok ama yang begitu bersahaja dan penuh cinta.


Chiayi, 6 Mei 2014



Recommendation(評審評語):
A dramatic story which show the relation between mother and son, master and their workers, and husband and wive. An ordinary story that we can found in anywhere else, but she wrapped it up in a situation that every migrant workers had in commons. The first line of the story is also a beautiful-short poem that give every respect for all the mothers outside. And for me these story is very relevant, because most of the migrant workers that facing domestic harassment is woman. These latest story doesn’t need anything to be revised. It is short, clear, compact, and enjoyable for every readers.
from the start until end. She also gave some tips alongside it, to help other workers, whom still doesn’t know where to go if they facing the same problem. My revisions is only variation of grammars that she used. In Indonesian language, some words are just misplaced and she can find words that have the same meaning but more powerful.