Pelangi Senja di Langit Ximending

2015/4/25 / NANA / Pelangi Senja di Langit Ximending / Indonesia 印尼 / Tidak Ada

Pelangi Senja di Ximending
Aku mengucap doa berulang sebelum memasuki rumah majikan baruku. Keadaan ruangan tertata sangat rapi, meskipun terlihat kusam dan berdebu. Ada aroma rokok yang berbaur dengan aroma aneh lainnya. Bahkan ketika Nyonya mengantarku ke lantai empat menunjuki kamarku, aroma itu seperti sudah melekat di setiap sudut ruangan. Rumah ini menghadap ke timur, arah jalan Wanhua. Ximending adalah pusat perbelanjaan dimana para turis menjelajahi pertokoan berbagai produk. Mulai dari pakaian, asesoris, gadget, dan jajanan khas yang konon resepnya sudah berusia puluhan tahun turun-temurun, yang menjadi perburuan wisata kuliner. Ximending juga dikenal sebagai Harajuku-nya Taipei. Setiap hari selalu ada pertunjukan para artis jalanan. Dari  menyanyi, menari, hingga pertunjukan teater. Di akhir pekan, kota ini sangatlah ramai. Sulit bagiku untuk bisa beradaptasi di rumah ini. Apalagi harus membiasakan hidungku dengan aroma rokok, alkohol, setiap siang dan malamku.

Tuan tertidur di sofa berwarna merah marun, ketika aku turun ke lantai dua. Seperti biasa, beliau tidur pada siang hari dan menghabiskan waktu malamnya di luar.
""Tuan, waktunya makan siang."" Kucoba membangunkannya dengan hati-hati. Karena itu amanah dari keke, anak pertama pasangan ini. Nyonya terlihat masih sehat, namun beliau penderita Alzheimer. Dan tugasku untuk mengawasinya, atau selalu mengingatkan  dalam segala hal.
""Kamu tidak lihat orang sedang tidur, ya?"" bentakan Tuan membuat nyaliku menciut, dan meninggalkan ruangan itu. Setiap hari menjadi petualangan bagiku. Seringkali harus terbangun dini hari membukakan pintu untuknya yang sudah mabuk. Mendengarkannya meracau, menyiapkan teh untuknya. Atau menyaksikannya membantingi perabot rumah. Sedangkan Keke hanya sesekali pulang menjenguk. Karena Tuan pasti memarahi dan mengusirnya. Kedua anak perempuan yang sangat beliau sayangi, mempunyai pekerjaan di Canada.
Seringkali aku merasa tidak betah, dan takut setiap hendak memulai bicara padanya. Perlu persiapan nyali meski sekedar mengingatkan waktu makan atau minum vitamin. Tuan berperawakan tinggi, suara lantang, dan bentakannya mampu terdengar dari jarak ratusan meter sekalipun.
""Pulang sana! Anak tidak tahu diri. Kamu datang hanya untuk mengaturku!"" Hardiknya suatu hari.
""Pa, ini untuk kesehatanmu. Tidak baik merokok terus. Kurangilah per-tahap, ya."" Keke seperti memohon.
""Jangan khawatir, aku mengkonsumsi banyak vitamin setiap hari. Dan kamu lihat, aku sangat sehat."" Kemudian mereka bertengkar. Suara semakin lantang, dan setiap kali Keke mengalah. Kembali ke Taichung, dimana ia kuliah. Sudah terhitung empat bulan lebih tak lagi mengunjungi rumah ini.
Suatu sore di bulan Juli, pergantian cuaca dari panas ke dingin membuat Tuan terserang flu beberapa hari. Badannya demam, nafsu makan pun menurun. Batuk yang dulu kuanggap biasa kini menjadi seperti tak terkendali. Setiap bicara, seperti ada dahak di kerongkongan pita suara.
""Telpon Keke, suruh pulang. Cepat!"" Suaranya gusar, aku yang tak tahu sebabnya dengan gemetar memencet beberapa digit nomor ponsel Keke. Kuperhatikan wajah tuan pucat, dan seperti kelelahan. Keesokan harinya, mereka bergegas ke rumah sakit.  Aku baru menyadari kejanggalan yang terjadi ketika menemukan setumpuk tisu dengan bercak darah di tong sampah.

""Kanker paru,"" ucapnya lirih. Bulu kudukku berdiri membayangkan sel-sel kanker itu menyerang ganas anggota dalam tubuh yang sudah lemah. Tuan harus menjalani terapi kemo untuk pertama kalinya. Sejak saat itu, Keke tinggal di rumah dan menjaganya setiap hari. Begitupun kedua anak perempuannya bergantian pulang. Aku ingat bagaimana gaya hidupnya sebelum kejadian ini. Makan yang tidak teratur dan tepat waktu, bergadang, merokok, minum alkohol. Sedangkan dari merokok saja, sudah puluhan zat jahat yang menjadi sumber utama penyebab kanker paru. Aku tak habis pikir dengan apa tujuan merokok, atau sekedar mendapat sensasi nyaman seperti ketika seseorang mabuk? bukankah mencegah lebih murah daripada mengobati? Sedangkan semua tahu, rokok adalah penyebab utama 80- 90% kanker paru, jika dibandingkan dari faktor genetik, polusi udara, atau lainnya.
""Semua ini boleh dibuang. Aku tidak akan merokok lagi,"" ungkapnya. Ada senyum kecut yang belum pernah kulihat sebelumnya. Sekotak rokok sigaret dan beberapa korek api diserahkan. Keadaan fisiknya berubah total sejak hari itu. Badannya semakin kurus, rambut keseluruhan rontok, bahkan seusai menjalani terapi kemo, sering tak bisa mengkonsumsi makanan. Mulutnya mengalami sariawan parah, bahkan sampai ke organ dalam. Dan beliau kesulitan menelan makanan.
""Andai saja aku mendengar nasehat anakku sejak dulu,"" keluhnya.. Pandangan matanya menerawang. ""Sekarang, nyawaku tinggal separuh saja,"" lanjutnya kemudian.
""Tuan akan sembuh nanti. Jadi harus bersabar menjalani terapi. Dan makan obat tepat pada waktunya,"" hiburku.
""Bagaimana kamu tahu aku bisa sembuh? Dokter saja menganalisa usiaku lima tahun saja setelah penyakitku terdeteksi."" Suara Tuan parau, ada sesal yang begitu mendalam.
""Tuhan selalu mampu memberikan kejutan bagi kita yang bertaqwa, Tuan. Kita bisa memohon padaNya,"" usulku.
""Apakah kamu mau berdoa untuk kesembuhanku?""
""Tentu saja, Tuan,"" jawabku tanpa ragu. Aku belajar banyak dari penyakit yang diderita Tuan. Bahwasanya penyakit bisa datang kapan saja. Dan menjaga badan stabil sehat adalah hal yang sangat penting. Kedua anak perempuannya selalu mencatat menu diet harian. Bahkan memeriksa tekanan darah dan suhu badan hampir setiap hari. Mengatur jam tidurnya, agar tak lagi bergadang dengan menonton televisi.
Pekerjaanku menjadi dobel sejak itu. Karena harus tepat waktu menyiapkan menu makan, dan memberinya obat. Sedangkan Nyonya sangat membutuhkanku di sampingnya. Kehilangan memori ingatan selalu membuatnya kacau. Menagih makan berkali-kali. Atau keluar rumah sendiri dan sering membuatku kelabakan mencarinya. Ketika waktu istirahat, pikiranku masih was-was dengan keadaan keluarga. Anggota keluargaku yang lelaki semuanya adalah perokok berat. Mereka tidak pernah pedulikan betapa bahayanya bagi kesehatan mereka sendiri, atau orang yang dicintai. Perokok pasif, yang hanya turut menghirup asap rokok pun punya peluang terkena kanker yang serupa. Aku bergidik ketakutan.
""Yah, Nana minta maaf jika semakin jarang telfon."" Tak tega rasanya memotong pembicaraan dengan ucapan salam begitu saja. Kurasa Ayah begitu antusias untuk melanjutkan bicara denganku di telfon.
""Kenapa, Nduk? akhir-akhir ini nggak kasih sms sama keluarga? Jangan bikin kami khawatir ya."" Aku sudah menduga keluarga merindukanku, dan mengira ada hal tak baik terjadi padaku.
""Majikanku sakit, Yah. Akibat merokok tuh, beliau kena kanker paru,"" jelasku.
""Kan nggak semua bisa kena kanker, Nduk."" Ayah membantah. Di belakangnya, suara Ibu menggerutu atas jawaban Ayah.
""Majikanku dulu juga mengira begitu, Yah. Apa salahnya mengurangi pengeluaran uang, dan badan  Ayah lebih bugar. Aku sedih dan takut melihat orang sakit begini, Yah."" Aku mencoba meyakinkan, agar Ayahku benar-benar berhenti merokok. Perbincangan kami menjadi obat lelah, setelah sepanjang hari merawat, dan meladeni dua pasien sekaligus.
Musim dingin sudah tiba. Kami semua lebih waspada memberikan nutrisi untuk Tuan. Menyiapkan baju tebal yang cukup agar beliau tak sampai terkena flu yang bisa saja memperburuk kesehatannya.
Senja ini, adalah malam menyambut tahun baru Imlek. Sekeluarga ini sudah berkumpul, dan mereka seperti kompak memakai baju merah merona. Pertama kali kulihat wajah-wajah sumringah mereka sejak Tuan sakit. Aku turut bersyukur bisa melalui segala cobaan hingga musim ini.
""Nana, kami akan ke balkoni lantai enam minum teh. Sediakan dan bawa ke atas, ya,"" pesannya. Aku segera menyiapkan se-teko teh Olong dan camilan kwaci. Langit berwarna orange ke-emasan ketika aku sampai di balkoni lantai enam. Mereka menggelar alas karpet dan duduk menghadap ke taman. Musik klasik  kesukaan Tuan mengalun begitu merdu. Beradu dengan aroma teh Olong yang khas. Sesekali mereka memintaku untuk mengambil foto sekeluarga yang sedang berbahagia itu. Perjuangan dengan saling memberi dorongan dan dengan sabar mendampingi Tuan hingga tahap kesembuhannya. Keajaiban dari Tuhan bisa dihadiahkan kapan saja.
Di ketinggian langit, kulihat aneka warna pelangi. Matahari tenggelam menyambut senja. Dan bunga Daffodil yang mekar serentak di musim dingin ini seperti menjanjikan sebuah kelahiran dan kehidupan baru. Amin.

Note:
Alzheimer:  Sindrom pada otak yang menyebabkan gangguan memori
Keke: Panggilan untuk lelaki yang lebih tua
Nduk:  Panggilan kesayangan untuk anak perempuan dalam bahasa Jawa

Cerita di atas hanyalah fiksi, namun terinspirasi dari sosok  Fan Xian Xen, yang saat ini masih dalam tahap penyembuhan dari kanker paru. Dan semoga membawa pesan bagi perokok, bahwasanya merokok sangat buruk bagi kesehatan.