Terima kasih (謝謝)

2015/4/30 /yully agyl  / Terima kasih (謝謝) / Indonesia 印尼 / tidak ada

TERIMA KASIH ( 謝謝 )
Oleh: Yully Agyl

Cuaca dingin bulan Januari tidak membuatku harus bermalas-malas dibalik selimut walaupun di hari Minggu. Ritual menjengguk Papa di kampung adalah hal yang wajib kulakuan.
Aku lebih sering berangkat sendiri, karena istriku di hari Minggu ada les Bahasa Korea dan Bahasa Inggris.
-----

Ati... Kakek tidak mau jalan nih!""
Teriakku dari kamar Papa. Aku ingin membantu Papa bangun dan berjalan keluar, akan tetapi ternyata Papa hanya diam di tempat. Terpaksa kupanggil Ati, nama panggilan pembantu kami yang sedang sibuk menyiapkan makan siang.

""Iya, Tuan. Saya datang,"" jawab Ati sambil tergopoh-gopoh menghampiriku.

""Tuan bergeser dulu, saya ganti posisi Tuan,"" kata Ati.

Aku pun menggeser tubuhku. Kuperhatikan apa yang dilakukan Ati.
Posisi Ati berada di belakang Papa yang telah berdiri sambil berpegang pada tongkat berkaki empat. Kedua tangan Ati menopang di bawah ketiak Papa, seperti orang memapah anak kecil.
Sedang kaki kanannya tepat di belakang kaki kanan papa.

Pelan-pelan papa terlihat berjalan keluar kamar, tetapi aku tahu yang menggerakkan badan papa adalah dari tenaga Ati sepenuhnya.
Terlihat begitu mudah bagi Ati mengerjakannya, tetapi ternyata aku yang lelaki dan berbadan lebih besar dari Ati tidak bisa melakukannya.

----
Ati adalah pekerja asing asal Indonesia yang mengabdi di keluargaku. Entah siapa nama aslinya, aku sendiri tidak tahu. Enam bulan setelah berpulangnya Mama, dia datang. Tepatnya dua tahun yang lalu.

Tugasnya menemani, merawat Papa yang sudah berusia 90 tahun. Mereka hanya tinggal berdua, di rumah tua di daerah Xihu, Changhwa. Sementara aku dan tiga saudaraku menempati rumah kami masing-masing.

Rumah kakak pertama dan kedua hanya berjarak 1 km dari rumah Papa. Sedang kakak ketiga dan aku tinggal di Taichung..

Bukannya kami, anak-anak Papa tidak mau merawat beliau. Tetapi, Papa tidak mau tinggal bersama kami. Lebih tepatnya, Papa tidak ingin meninggalkan rumah yang penuh kenangan baginya.
Jangankan untuk menginap di rumah anak-anaknya, ketika diajak untuk sekedar bermain saja beliau sudah bingung ingin segera pulang.

Kami sebenarnya tidak tega, meninggalkan beliau yang sudah renta, dengan tubuh yang tidak sehat hanya dengan pembantu. Tetapi apa boleh buat, hanya ini satu-satunya cara yang lebih baik daripada mengirim beliau ke panti jompo.

Hampir setiap hari ada saja anak, cucu, cicit Papa terdekat yang sekedar menjenguk. Apalagi, Ati juga sudah bisa kami percaya. Dia sudah memahami watak Papa, sudah tahu kebiasaannya dan makanan kesukaannya.
Bahkan Ati lebih bisa mengerti bagaimana melayani Papa daripada kami, anak-anaknya.

Merawat Papaku sungguh butuh kesabaran dan kekuatan fisik yang ekstra.
Papa yang sudah mulai pikun, ditambah dengan penyakit susah tidur (Insomnia) semenjak satu setengah tahun yang lalu, membuat penyakit lain pun menjangkiti tubuh tuanya.
Dokter tidak berani memberi tambahan dosis obat tidur Papa mengingat kesehatan dan usianya yang telah lanjut.

Satu tahun yang lalu, ginjal Papa bermasalah dan diharuskan cuci darah. Satu bulan penuh menjalani rawat inap di rumah sakit dan hanya Ati yang menemani. Aku dan saudara-saudaraku semua sibuk dengan urusan masing-masing.
Kami menjenguk secara bergiliran atau kalau ada telpon penting dari rumah sakit.

Sungguh sebuah mujizat, setelah pulang dari rumah sakit dan menjalani rawat jalan dan juga antar jemput untuk cuci darah setiap dua kali dalam seminggu selama 3 bulan, ginjal Papa dinyatakan membaik dan tidak perlu cuci darah lagi.

Yah..., Ati benar-benar memperhatikan kesehatan Papa. Obat yang Papa minum selalu dikontrol reaksinya. Apabila ada reaksi yang kurang baik, Ati cepat tanggap dan memberitahu Chi Mei dan Ciao Yek, kedua keponakanku yang kami serahi tugas mengawasi kebutuhan Papa.

Makanan dan minuman Papa juga sangat diperhatikan. Walau kadang Ati harus mendengar amarah Papa yang merasa hidupnya di atur Ati.
Aku hanya bisa meminta Ati bersabar dan tidak dimasukkan dalam hati.

Semakin membaiknya kesehatan Papa, membuat aku dan keluarga semua semakin percaya kepada Ati. Kami sudah menganggap dia adalah bagian keluarga kami.

Keluarga kami, bukan sekali dua kali memakai jasa pekerja asing. Di pabrikku juga ada beberapa orang. Karena menurutku menggaji pekerja asing yang resmi, jauh lebih murah daripada pekerja asing kaburan ataupun penduduk asli Taiwan.

Kadang aku tidak habis fikir, kenapa masih banyak bos-bos yang menggunakan jasa tenaga orang kaburan dengan gaji yang lebih mahal dan resiko yang lebih besar?
Sementara yang resmi ada, dan tidak beresiko.

Hal penting yang menjadi pegangan dalam memperlakukan pekerjaku adalah tidak pernah menganggap mereka pekerja rendahan. Justru sebaliknya, tanpa kerja keras mereka aku bukan apa-apa. Mereka jauh-jauh datang ke Taiwan, karena mereka ingin memperbaiki kehidupan menjadi lebih baik.
Jauh dari keluarga dan dalam tempo yang lama bukan hal yang mudah.

Sungguh disayangkan bila ada majikan yang memperlakukan mereka dengan tidak berperikemanusiaan.

Sambil menikmati makan siang, aku juga gunakan untuk sekedar ngobrol dengan Ati. Tentang banyak hal, mulai dari kesehatan Papa, bahkan hal juga mengenai kehidupan Ati, walaupun tidak semuanya diceritakan.

""Oya, Ati. Imlek bulan depan kamu sudah Imlek yang ketiga dong di sini?"" tanyaku.

""Iya Tuan.""

""Wah tidak sampai setahun lagi kamu sudah habis kontrak. Apakah kamu mau kembali kesini atau tidak?""

""Kemungkinan kembali Tuan, saya masih butuh biaya banyak untuk anak-anak saya.""

""Syukurlah kalau kamu kembali, berarti aku tidak perlu repot cari yang baru. Akan sulit kalau yang baru tidak bisa mengerti kondisi kakek yang seperti ini.""

""Iya Tuan, saya juga tidak ingin pindah-pindah majikan. Disini saya sudah merasa nyaman. Boleh sholat, boleh pakai handphone. Juga lingkungan sini orangnya baik semua.""

""Oya, apakah kalau kembali gaji kamu harus naik?"" tanyaku.

""Itu tergantung kesepakatan antara bos dan pekerja, Tuan. Karena dari pemerintah Taiwan belum menyetujui kenaikan gaji bagi sektor informal. Padahal kalau dipikir pekerja di sektor informal lebih berat tanggung jawabnya, juga tidak ada batasan jam kerja. 24 jam harus siap siaga. Bukankah seperti itu, Tuan?""

""Iya juga sih. Kapan kamu pertama datang Taiwan?""

""Wah sudah lama sekali, ketika ada gempa bumi besar 921 (九二一) saya sudah disini yang pertama kali, tepatnya di Taichung.

""Wah sudah lama itu.""

""Iya, dan dari dulu sampai sekarang gajinya tetap 15840 NT, tidak naik sama sekali. Sementara harga kebutuhan terus naik.""

""Ya sudah, nanti kalau tiba waktunya aku akan urus semuanya. Soal tambahan gaji, gampang. Nanti aku bicarakan dengan saudaraku yang lain. Oya, selesai makan, kamu antar kakek tidur siang sebentar, kamu juga istirahat. Nanti jam 14.00 kita ajak jalan-jalan kakek.""

""Iya Tuan, sekalian nanti saya mampir ke Toko Indonesia, ada titipan dari teman-teman.""

""Iya.""

Ati melanjutkan aktivitasnya. Hal yang sering kulakukan ketika menjenguk Papa adalah mengajaknya jalan-jalan. Karena aku tau Papa dan Ati pasti jenuh setiap hari hanya berada di lingkungan yang sama.
Ada yang membuatku suka dari kepribadian Ati, yaitu kesabarannya juga kepeduliannya terhadap sesama.
Sifatnya yang ringan tangan, ramah, banyak disukai orang, bukan hanya teman sesama pekerja tetapi juga orang Taiwan yang ada di sekitarnya.

'Saya hanya ingin membantu sebisa saya saja Tuan. Karena dirantauan jauh dari keluarga, dan yang dekatlah yang menjadi saudara. Bukankah kita hidup harus saling tolong menolong? Yang penting, pekerjaan tetap nomer satu.'

Itu yang pernah dikatakan Ati kepadaku, ketika ku tanya kenapa dia merepotkan diri sendiri?

Ati bukanlah pembantu yang bodoh. Waktu  luangnya banyak digunakan untuk membaca dan menulis. Buku, majalah bertumpuk di meja kamarnya yang jadi satu dengan kamar Papa.
Beberapa tulisan karyanya juga pernah diperlihatkan padaku dimuat di majalah Indonesia di Taiwan.
Walaupun aku tidak mengerti, tapi ada rasa bangga di hati.

****

Imlek telah di depan mata. Kesibukan di pabrik sungguh menyita tenagaku. Mempersiapkan parcel untuk para relasi kerja, menyiapkan bonus lebaran untuk karyawan adalah hal yang biasa aku lakukan dengan dibantu istriku yang cantik.

Anak-anakku juga sudah memasuki waktu liburan. Rencananya, kami sekeluarga akan pulang ke Xihu selama seminggu.

""Ma, sudah siap semuanya?""

""Sudah, Pa.""

""Anak-anak, apakah kalian sudah siap semua?""
Aku meneriaki anak-anakku yang masih ada di lantai 3.

""Sudah, Pa,"" jawab mereka serentak sambil berjalan menuruni tangga.

""Ok! Let's go.""

Perjalanan ke arah Xihu Changhwa, sudah mulai ramai. Maklum besok sudah masuk Tahun Baru China. Tradisi pulang kampung sudah menjadi kebiasaan bagi sebagian orang. Apalagi yang masih memiliki orang tua.

""Ma, kucingnya bagaimana? Siapa yang kasih dia makan?"" tanya Yang Zhe Ni, putri bungsuku.

""Mama sudah minta tolong Mbak Chisa untuk memberi makan. Sekalian juga untuk menyalakan dan mematikan lampu rumah,"" jawab istriku.

Chisa adalah perempuan Indonesia yang menikah dengan orang Taiwan. Itupun dulu kami yang mencarikan jodoh untuknya agar bisa kembali bekerja di sini. Karena, dulu tidak ada proses kembali ke majikan. Kini sudah 12 tahun mereka berumah tangga, dan menjadi karyawan tetap di pabrikku, dan sudah seperti saudara dengan keluargaku.

""Kakak sudah siapkan hongpao untuk Kakek?"" tanya istriku kepada Yang Yo Jen, putra sulungku.

""Sudah Ma.""

""Hongpao apa?"" tanyaku.

""Kakak kan sudah kerja dan sudah terima gaji pertamanya. Mama minta dia sisihkan sedikit untuk diberikan Kakek. Pasti Kakek senang,"" jelas istriku.

""Tidak usahlah Ma, cukup aku saja yang memberi Kakek,"" kataku.

""Ini bukan masalah uangnya Pa. Tapi sebagai tanda terima kasih, juga rasa hormat cucu kepada kakeknya. Karena ada kakek, maka ada Papa. Karena ada Papa maka ada dia dan bisa jadi seperti sekarang,"" kata istriku lagi.

""Oya anak-anak. Ingat! Selama di rumah Kakek, apapun yang kalian inginkan dan kalian bisa lakukan sendiri, maka lakukan sendiri. Jangan membuat repot Ati. Ati sudah sangat capek merawat Kakek. Mengerti?"" sambung istriku.

""Iya Ma. Mengerti.""

Aku hanya mendengarkan sambil fokus mengemudi. Sementara, putra keduaku Yang Yo Wei lebih banyak diam menikmati perjalanan.
Wanita cantik yang telah menemaniku dihampir 30 tahun ini otaknya juga tidak bisa di sepelekan. Kalau sebagian wanita berkehidupan mapan suka dengan shopping, tetapi istriku justru tidak menyukainya.
Selain mengurus rumah, membantu urusan pabrik, hal lain yang suka dilakukan adalah belajar dan membaca.

Di balik keberhasilan suami, adalah karena adanya peran istri yang hebat. Itu adalah benar adanya.
Terima kasih, istriku. (謝謝老婆)。


Imlek kami lewati dengan suka cita. Keluarga silih berganti datang ke rumah Papa.
Selain karena di depan rumah Papa ada wihara yang selalu ramai pengunjung, juga karena dalam silsilah keluarga, orang tertua tinggal Papaku.
Papa pun terlihat bahagia, melihat anak, cucu, menantu, cicit, kerabat yang jauh semuanya berkumpul.


*****
Imlek telah berlalu, rutinitas kehidupan berjalan seperti biasa. Dua bulan setelah Imlek, kesehatan Papa menurun lagi.
Kembali Papa harus bolak-balik ke RS Changhwa untuk berobat.
Dokter mengatakan ginjal Papa bermasalah kembali. Tetapi kali ini dokter tidak berani melakukan cuci darah mengingat usia dan kondisi tubuh Papa yang lemah.
Salah satu penyebab kambuhnya penyakit Papa, karena pola hidup Papa yang terbalik. Siang tidur, menjelang petang sampai keesokan pagi begadang.

Juga karena Papa tidak suka minum air putih. Yah, dari dulu Papa sangat kurang mengonsumsi air putih. Bahkan kadang harus ribut dulu baru mau minum lebih banyak.

Biar bagaimanapun tidur di malam hari lebih baik bagi tubuh daripada tidur siang hati.
Papa menjalani rawat jalan, karena dia tidak mau dirawat di rumah sakit.

-----
Hari masih pagi, jam dinding menunjuk di angka 6. Handphoneku sudah berbunyi berkali-kali. Dengan malas ku ambil dan kuterima telpon masuk itu.

""Paman, ini aku Ciao Yek. Sekarang kami dalam perjalanan ke rumah sakit. Kakek tiba-tiba drop. Detak jantungnya lemah. Paman tolong cepat ke sini.""
Keponakanku bicara dengan gugup.

""Iya...iya, aku segera berangkat.""

Telpon kututup. Rasa malasku lenyap seketika. Hati dan pikiranku tiba-tiba resah. Dengan gugup ku suruh istriku secepatnya bersiap.

Perjalanan Taichung - Xihu terasa lama. Jalanan mulai ramai orang berangkat kerja dan anak sekolah. Kulirik jam di deskboard masih jam 6.30

Dreet...dreet.
Handphoneku bergetar.

""Halo, Paman. Kakek tidak bisa tertolong. Dokter tanya, apa perlu alat bantu pacu jantung atau pasang slang oksigen ke dalam tubuhnya?""
Suara Ciao Yek di seberang bergetar.

""Apakah bila alat-alat itu dipasang Kakek bisa sadar kembali?"" tanyaku.

""Tipis harapannya, karena Kakek sudah meninggal dalam perjalanan tadi dan kondisi tubuhnya juga tidak memungkinkan.""

""Kalau begitu tidak perlu, bukankah kita semua sepakat, tidak ingin menyiksa raga Kakek? Biarkanlah meninggal dengan damai. Bukankah kita ingat, Nenek dulu sangat tersiksa dengan segala alat bantu itu, dan ternyata tidak membantu sama sekali?!"" jawabku.


""Iya, Paman.""

""Ya sudah 20 menit lagi aku sampai di rumah sakit.""

-----
Tuhan telah berkehendak. Di usia menginjak 91 tahun, Papa berpulang.
Seperti halnya almarhumah mama, tepat 10 hari dari hari meninggalnya, Papa dimakamkan.

Ati, tiada hentinya meneteskan airmata. Aku bisa maklum, kebersamaannya dengan Papa selama 2 tahun lebih pasti menimbulkan rasa kehilangan juga.

Aku dan keluarga juga sangat kehilangan Papa. Rasanya apa yang telah kuperbuat dan kuberikan ke Papa belum seberapa. Tapi kami harus berusaha iklas, agar Papa tenang dikehidupan barunya.
Selamat jalan Papa. Terima kasih dengan semua yang kau berikan kepada kami. Kami mencintaimu, Papa.
謝謝爸爸。

----
Papa telah pergi untuk selamanya. Sambil menunggu job baru, Ati tinggal di rumah Papa. Kami menyuruh dia menggunakan waktu untuk beristirahat total. Walaupun tidak bekerja, kami tetap menggajinya penuh sampai tiba waktunya di jemput agen.

Tepat 10 hari kemudian, agen datang. Aku dan istriku luangkan waktu datang ke Xihu. Kedua keponakanku, Chi Mei dan Ciao Yek juga sudah datang.
Tas-tas Ati telah tertata rapi.

""Ok, Ati sudah siap semuanya?"" tanya Tuan Yieh, agency Ati.

""Sudah Tuan,"" jawab Ati.

""Tuan, Nyonya, Nona silakan cek barang-barang Ati, sekedar untuk memastikan ada/tidak barang yang dia ambil,"" kata agency itu lagi.

""Tidak perlu. Kami sudah sangat bersedih harus berpisah dengan Ati. Kami sudah percaya sepenuhnya,"" kataku.

Perpisahan itu sungguh sangat mengharukan. Beberapa tetanggaku yang mayoritas sudah kakek nenek datang dan mengucap salam perpisahan.
Bukan cuma Ati, istriku, dan yang lain, mataku juga terasa panas menahan jatuhnya airmata.

""Terima kasih Ati, atas semua jasamu merawat kakek. Jangan bersedih, aku yakin kamu akan mendapatkan majikan yg baik pula. Ingat! Jangan lupa kabari kami. Bukankah kamu sudah menyimpan nomer hp kami semua?"" kata istriku.

""Iya, Nyonya. Saya juga sangat berterima kasih, kalian semua baik pada saya. Saya juga minta maaf bila ada kesalahan,"" jawab Ati diantara isaknya.

""Kalau ada waktu main ke sini ya Ati,"" kata salah seorang tetanggaku.

""Iya.""

Setelah bersalam-salaman, foto bersama, Ati pun pergi bersama agennya.
Lambaian tangan kami mengiringinya.

'Selamat jalan Ati, selamat menggapai masa depanmu. Kau orang baik, aku yakin kamu akan selalu bertemu dengan orang baik. Terima kasih atas semua pengorbananmu. Terima kasih telah merawat Papaku dengan hatimu. Terima kasih, Ati. 謝謝妳.'
Gumanku dalam hati.


*****THE END*****

Note:
Cerita ini saya dedikasikan untuk Tuan Yang Zhi Bing dan keluarga. Sebagai ucapan terima kasih, yang hingga saat ini masih peduli kepada saya.
Juga sebagai pengingat setahun meninggalnya Kakek.
謝謝您們。