Mengirim Rindu Kepada Alpha

2015/5/30  / Minie Kholik  / Mengirim Rindu Kepada Alpha / Indonesia 印尼 / Ryan Ferdiyan Darsusi

Mengirim Rindu Kepada Alpha
Oleh Minie Kholik

Degup jantungku berdenyut semakin cepat, lutut terasa lemas. Semoga aku salah, aku salah, harus salah! Aku meyakinkan diriku sendiri. Lunglai, aku panggil tuan di ruang tamu. Semuanya terasa akan gelap.

“Tuan, ama…” Aku memanggil tuan setengah menangis.

“Ama kenapa?” saat itu tuan sedang menyeduh the hijau kesukaannya sambil menonton televisi.

Tanpa harus aku jawab, hanya dengan melihat raut mukaku, sepertinya tuan sudah mengerti ada sesuatu yang buruk terjadi pada ama. Tuan dan nyonya berlarian menuju ama berada. Begitu jelas kepanikan di wajah mereka, tak berbeda denganku beberapa detik sebelum mereka melihat sendiri wajah ama yang mulai pucat dan dingin.

“Ama!!!” teriak mereka.

“Lakukan CPR,” aku segara mengisyaratkan agar tubuh ama segera dipindahkan ke tempat yang rata. Kamipun segera memindahkan tubuh ama bersama-sama, tuan bersiap untuk melakukan CPR(Cardiopulmonary Resuscitation). Tuan meletakan telapak tanganya  di tulang dada tepat di bawah puting susu, lalu meletakan telapak tangan satunya di atas tangan pertama. Tubuh Tuan berada tepat diatas tangannya. Lalu memberikan 30 komperesi secara cepat dan keras tanpa henti. Nyonya menangis, aku dan tuan tidak kuasa menahan airmata. Tanpa putus asa kami bergantian mencoba memberi nafas bantuan tapi ama masih belum bereaksi. Aku semakin panik, menyesali diri karena baru lima menit aku meninggalkan ama di kamar. Hari ini hari Minggu, tuan dan nyonya serta keluarga yang lain baru saja pulang naik gunung. Sepulangnya, nyonya tidak lupa membelikan xiang ji pai kesukaanku. Karena sudah agak dingin tuan menyuruhku memanggangnya sebentar di pemanggang. Selagi pemanggang itu belum berhenti aku menuju kamar melihat ama yang sedang buang air besar. Tapi aku terkejut mendapati ama yang terdiam pucat.
Tuan segera menelepon 119 untuk meminta bantuan, petugasnya menganjurkan agar ama diberi pertolongan pertama dengan melakukan CPR sebelum mereka tiba. Tuan pun menjawab sudah dilakukan, tidak berhasil. Petugas menerangkan jika masih ingin ama hidup maka mereka akan melakukan trakeostomi (tracheostomy). Yaitu, membuka dinding trakea untuk mempertahankan jalan nafas. Tuan berpikir sejenak dan mengatakan dengan begitu ama pasti akan lebih menderita dari sebelumnya. Karena sekarangpun ama sudah menggunakan selang sonde untuk memasukan makanan ke dalam lambungnya. Ditambah lagi jika harus melakukan trakeostomi di lehernya. Itupun sedikit kemungkinan ama bisa hidup seperti semula. Bisa jadi ama hanya akan hidup bergantung pada mesin-mesin di ruang ICU dan lebih menderita lagi.

“Relakan ama ya, Li? “ ucapnya sambil menepuk pundakku. Aku tahu dia sendiri sangat terpukul dengan kejadian ini. Tidak ada yang menyangka kalau ama akan meninggal mendadak seperti ini. Tadi pagi saat mereka berpamitan ama sedang duduk di kursi roda. Masih segar, ama memang sudah 17 tahun menderita struk, tubuhnya lumpuh total. Dokter bilang, ama terkena distonia. Pita  suaranyapun rusak. Tidak lagi memungkinkan dirinya untuk berbicara. Ama hanya memiliki dua cara berkomunikasi yaitu; menangis dan tertawa. Jika ada yang tidak nyaman pada dirinya maka dia akan menangis. Namun, jika ia senang maka ama akan tertawa.

“Sejak ada kamu ama jadi sering tertawa, terimakasih.” Ucap tuan saat kami makan-malam. Seminggu yang lalu.

“Tidak usah sungkan, Tuan.” Jawabku.

“Kamu masih mau melanjutkan kontrak kerjamu kan, Li?” Nyonya ikut andil.

“Ama sangat menyukaimu. Selama ini jarang ada orang yang bisa membuatnya tertawa begitu senang.” Lanjut tuan.

Keluarga mereka adalah keluarga yang sibuk dengan urusan masing-masing. Tapi, seminggu atau sebulan sekali mereka akan menyempatkan diri berkumpul di rumah tuan, untuk menemani ama. Jika ama dirawat di rumahsakit mereka akan menjenguk bergantian setiap hari.Nyonya menambahkan daging sapi dan tofu di atas mangkuk nasiku. Sambil mengangguk tanda setuju dengan ucapan tuan. Nyonya masih terlihat muda dan cantik. Padahal, nyonya sudah memiliki tiga orang cucu. Bahkan pernah supir taxi mengira kalau nyonya adalah ibu dari ketiga cucunya itu. Mereka begitu menyayangiku itu yang aku rasakan.

Ama memang tidak pernah berkata apapun. Tapi ama selalu mendengarkan apa yang akau katakan. Awalnya aku pesimis bisa merawatnya dengan baik. Selain tidak bisa berkomunikasi ama juga tidak bisa bergerak sama sekali. Tapi pelan-pelan kami merasa nyaman. Ama selalu tertawa saat aku berbicara. Kata orang intonasi dan logat mandarinku sangat lucu. Bahkan sering mereka tirukan sebagai bahan untuk menggodaku.  Aku seperti anak paling kecil dalam keluarga mereka. Merasa dimanja dan disayang. Makanan kesukaanku pun mereka sangat tahu.

Baru tadi pagi aku berbicara pada ama di teras sambil membersihkan radang kulit yang dideritanya. Aku memeras handuk hangat dan menempelkannya di kaki perempuan yang sudah berusia 70 tahun. Ama juga menderita radang kulit yang bernama psoriasis biasa dikenal dengan kulit bersisik. Awalnya kulit ama terlihat memar kemerahan. Aku sempat panik karena takut aku kurang hati-hati saat memindahkan ama dari ranjang ke kursi roda. Ternyata tidak, itu adalah awal dari proses radang kulit yang dideritanya. Selanjutnya kulitnya mengering dan bersisik semakin tebal lalu rontok dengan sendirinya. Untuk mempercepat pengelupasan kulit mati itu aku mengompresnya menggunakan air hangat agar lebih mudah dikelupas. Lalu, aku mengolesinya dengan salep dari dokter.

“Ama, kalau aku pulang ama harus lebih bahagia, dan lebih sehat ya.”
Ama tidak bereaksi mendengar ucapanku. “Nanti, suatu hari aku akan datang lagi ke Taiwan dan mencari Ama.” Lanjutku. Saat itulah ama menangis entah mengerti atau tidak dengan ucapanku barusan. Aku segera memeluknya. “Wo ai ni, Ama.”  Aku memang sangat menyayangi perempuan tua ini. Perempuan yang sangat kesepian. Yah, seperti aku. Kami sama-sama kesepian, saling mengisi dan berusaha berbahagia. Malam ini ama terlebih dulu meninggalkan aku. Aku menyesal dan sangat kehilangan. Kamar ini terasa begitu besar padahal sebelumnya terasa sempit. Selama dua bulan terakhir aku menjadi satu-satunya penghuni kamar yang selama hampir tiga tahun dihuni berdua. Aku harus pulang membawa  duka karena kehilangan nenek dan sahabat.  

Sebelum ama selesai dikremasi tuan dan nyonya tidak mengijinkan aku pulang ke tanah air. Hampir dua bulan aku tinggal di keluarga ini setelah ama tiada. Aku mengikuti semua ritual yang dilakukan mereka, menjelang acara  kremasi. Aku membantu menyiapkan semua keperluan sembahyang; dari makanan, melipat kertas sembahyang sampai hampir lima karung. Tuan sibuk bekerja dan menyiapkan semua keperluan untuk acara kremasi. Dari situlah aku melihat keluarga mereka mulai berkumpul lagi. Seandainya ama tahu pasti ama senang melihat anak dan cucunya rukun menyiapkan semua keperluannya untuk dibakar dan dikirim ke akherat bersamanya. Sesuai dengan kepercayaan yang dianutnya. Aku mengerti betapa cinta mereka dengan agamanya, dengan ibunya. Lalu aku, aku mencintai agamaku, Tuhanku, hanya belum sempurna tunduk pada perintahNya.

Selamat jalan, Ama. Terimakasih atas semua yang kita lewati. Berbahagialah di alam sana. Kepada bintang-bintang aku titipkan kisahku untukmu. Bintang yang kerlap-kerlip di atas sana aku  selalu menganggap itu kau. tersenyum ke arahku.


Tamat.

30/05/2015

Kisah ini berasal dari kisah nyata.