Sebuah Pilihan

2015/5/22 / Cinta Aerlyn Bellvania / Sebuah Pilihan / Indonesia 印尼 / tidak ada

SEBUAH PILIHAN

Oleh: Cinta Aerlyn Bellvania



Lelaki itu bernama Heru. Sosoknya yang gagah dan kharismatik, dengan tingkah laku sopan, serta wajahnya yang tampan. Semua tentangnya mampu meluluhkan hatiku. Ya, aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Hingga akhirnya dengan penuh kerelaan kuputuskan menerima pinangannya untuk menikah siri. Mungkin benar, bahwa cinta itu buta. Dan aku teramat mempercayainya, sehingga  tidak ada satu alasan pun untuk curiga.

Sungguh di luar dugaan. Keputusan inilah titik awal penderitaanku yang sebenarnya. Kemesraan yang ditunjukkannya pada masa pacaran perlahan mulai memudar. Hingga aku merasakan sikapnya perlahan mulai berubah, seiring dengan perutku yang semakin membesar.

""Ting, toong ...!!""

Sekitar pukul 8 malam, suara bel pintu terdengar memecah kesunyian rumah. Aku berjingkat mengintip dari balik gorden jendela, maklum aku tinggal seorang diri, suamiku sedang pergi dinas ke luar kota. Di depan pintu terlihat seorang wanita paruh baya. Wanita cantik yang menurutku berusia sekitar 40 tahun. Ia mengucapkan salam, ""Assalamu'alaikum.""

""Waalaikum salam,"" jawabku sambil membuka pintu. ""Ada yang bisa saya bantu?""

""Nama saya Anna. Apakah benar ini rumah Bapak Heru. Beliau adalah seorang tentara.""

Aku bisa merasakan ada getar kesedihan dalam nada suaranya. Sesekali matanya mencuri pandang pada perutku yang membuncit. Dadaku semakin berdebar-debar.

""Benar, tapi suami saya sedang tugas keluar kota, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?""

""Boleh saya masuk? Ada hal yang ingin saya jelaskan.""

Malam ini merupakan mimpi terburuk dalam hidupku. Ya, wanita itu mengaku sebagai istri sahnya Mas Heru. Segala bukti-bukti yang ditunjukkan olehnya membuatku tidak bisa menahan air mata. Aku bagaikan terhempas dari tebing yang sangat tinggi.

Wanita itu sudah pergi, namun meninggalkan luka yang teramat dalam di hati. Dua hari kemudian, Mas Heru pulang dari dinas. Aku berusaha bersikap seolah-olah tidak terjadi sesuatu. Semua demi anak yang ada di dalam kandunganku.

********

Perjalanan hidup manusia tidak bisa di terka. Anakku baru berumur dua tahun, ketika dari sebuah jejaring sosial aku melihat foto suamiku menikah lagi dengan seorang gadis.

Pasrah, hanya itu yang bisa kulakukan dan bercerai menjadi satu-satunya jalan yang kutempuh. Namun masalah datang saat aku ingin mengurus akte kelahiran Bella. Status perkawinan siri menjadi penghalang bagiku untuk mendapatkannya.

Akhirnya aku memutuskan untuk mendatangi rumah istri pertama suamiku. Aku meminta bantuannya agar Bella dimasukkan sebagai anggota keluarganya, supaya bisa mendapatkan akte kelahiran. Namun karena hasutan Mas Heru, istri pertama yang dahulu baik kini berubah membenciku.

""Dasar perusak rumah tangga orang! Pergi kamu dari sini. Anak itu adalah tanggung jawabmu sendiri, tidak ada urusan dengan kami."" Kata-kata itu membuatku benar-benar terpuruk.

Aku hanya bisa berdoa, semoga suamiku segera sadar dan mengakui Bella sebagai anaknya.

******

Mataku perlahan menggerjap silau. Entah mengapa tengah malam begini semua lampu dinyalakan dan ruangan seketika menjadi terang benderang. Suara-suara berisik memaksaku terjaga dari mimpi.

""Ada beberapa orang yang berniat kabur,"" kata seorang teman. ""Kasihan sepertinya dua orang terluka parah karena terjatuh dari lantai 3.""

""Siapa saja mereka?"" tanyaku setelah benar- benar tersadar.

""Menurut kabar yang kudengar, Hani termasuk salah satu yang terluka parah. Sedangkan yang lain entahlah.""

""Hani?"" gumamku.

Sudah sebulan terakhir ini, aku resmi menjadi salah satu penghuni PT Armada. Sebuah perusahaan yang memproses tenaga kerja untuk bekerja keluar negeri. Masih terbayang wajah Mama yang terlihat kecewa, saat seorang sponsor datang menjemputku. Aku memang merahasiakan semua ini darinya. Aku tahu Mama marah dan tidak merestui kepergianku untuk bekerja keluar negeri. Bahkan hingga saat ini, tidak ada seorang anggota keluargaku yang datang berkunjung ke tempat penampungan ini.

Di PT Armada ini, Taiwan merupakan salah satu tujuan yang diminati karena gajinya sedikit lebih tinggi dibandingkan negara lainnya. Terdapat hampir seribuan orang yang bernaung di sini dan semuanya adalah wanita. Hani merupakan salah satu yang aku kenal. Dia seorang wanita berusia 27 tahun, berasal dari Cilacap, rambutnya ikal, berparas cantik dengan kulit kuning langsat. Waktu itu kami sama-sama mendapat giliran piket untuk memasak di dapur asrama.

""Hartini, Susiyanti, Nova, dan Hani. Kalian dari kelas Taiwan diminta ke kantor,"" panggil seorang wanita yang mendapat giliran piket di kantor.

""Semoga visaku turun,"" bisiknya dengan wajah berseri. ""Doakan ya.""

Aku mengangguk. Setengah berlari dia menuju ke kantor. Menurut ceritanya, ia sudah hampir 6 bulan menjadi penghuni asrama ini.

Sore harinya saat aku hendak mengambil jemuran, kulihat Hani duduk bersandar pada tembok teras ruangan kelas. Raut wajahnya tampak lesu, binar harapan yang kulihat di kedua matanya tadi siang seolah padam.

""Kenapa, Han? Kok murung,"" tanyaku.

""Aku di'cancel' lagi, Mae. Entahlah, Mungkin nasibku harus menjadi penunggu tempat ini,"" gumamnya pelan.

""Sabar, Han. Banyak berdoa agar hati menjadi tenang. Masih ada kesempatan berikutnya. Kita semua yang berada di sini juga sama-sama menunggu. Kita senasib.""

Percakapan terhenti hanya sampai di situ. Senja kian kelam dan aku pun harus cepat-cepat mengantre supaya tidak kehabisan air untuk mandi.

Hari berganti hari. Hingga akhirnya aku mendapat kabar gembira. Jadwal penerbangan hari Selasa yang akan datang telah diumumkan. Semua orang yang namanya terpampang di papan pengumuman itu tampak bersuka cita. Aku bersyukur termasuk salah satu yang ikut penerbangan hari itu.

Malam saat acara perpisahan, di selimuti oleh rasa haru dan dipenuhi hujan tangis. Seolah melepas beberapa orang pejuang untuk pergi ke medan perang. Ya, Taiwan. Negara yang berbeda suku, budaya, adat istiadat, dan bahasa. Negara asing yang harus aku datangi untuk mengadu nasib. Demi masa depan Bella. Hanya demi dia, aku berusaha bangkit walau tertatih dengan jiwa yang terluka oleh fakta yang ada.

******

Sekarang aku tinggal pada sebuah keluarga bermarga Chen yang berada di Ciayi County. Tugasku merawat Ama, sebutan untuk wanita berusia 86 tahun itu. Ia masih bisa berjalan, hanya sesekali butuh bantuan.

""Maeee ...!!""

Tiba-tiba teriakan Tuan terdengar. Astaga! Aku lupa lagi hal yang satu itu.

""Kamu ini kebiasaan! Setiap kali pintu depan dibiarkan terbuka lebar. Kalau ada orang jahat masuk gimana? Bukan cuma sekali dua kali kamu melakukan itu. Mae, kamu tahu ...."" Di depan pintu Tuan memberiku ceramah panjang, dan aku hanya menunduk diam.

""Mae, kamu dengar tidak apa yang barusan aku katakan?!""

Tuan masuk dan menutup pintu dengan kesal.

""Ya, Tuan. Maaf, lain kali saya tidak akan mengulangi.""

""Sudah, sudah, sana pergi bikin secangkir kopi untukku,"" kata Tuan sambil menuju sofa.

""Baik, Tuan.""

Aku segera ke dapur untuk menyeduh kopi. Aku baru selesai memasukkan bubuk kopi dan air ke dalam alat itu, ketika sudut mataku melihat seekor kecoa terbang dengan tenang. Gawat! Kalau sampai Tuan melihat ada kecoa di dalam rumah, bisa-bisa aku disuruhnya membersihkan semua sudut ruangan.

Aku ambil sapu dan berusaha memukul binatang itu. Tapi kecoa itu bergerak lebih gesit dari perkiraanku. Satu kali, dua kali aku pukul tidak kena. Pukulan yang ketiga akhirnya barulah mengenai sasaran. Kecoa itu sepertinya mati, atau mungkin hanya pingsan. Entahlah.

Aku segera membungkus kecoa itu dengan kantung plastik dan membuangnya ke tempat sampah. Saat aku hendak mengembalikan sapu ke tempatnya, tiba-tiba ....

""Braaak!!""

Suara itu terdengar keras. Aduh! Celaka, alat penyeduh kopi itu pecah akibat terjatuh. Air seduhan kopi muncrat membasahi lantai dan sebagian lemari dapur. Rupanya kabel alat itu tidak sengaja membelit gagang sapu. Aku segera mengambil koran bekas untuk menyerap air kopi itu supaya tidak mengalir kemana-mana.

""Maee, suara apa itu?"" Teriakan Tuan terdengar.

Aku cepat-cepat berjalan mendekat. Bingung apa yang harus aku katakan.

""Maaf, Tuan. A-alat penyeduh kopi itu jatuh dan pecah.""

""Apaaa?!"" Teriakan Tuan kembali terdengar. Mukanya merah padam. ""Kamu ini kerja tidak becus. Apa saya harus panggil agensi untuk mengajarimu?""

Tiba-tiba pintu depan terbuka. Nyonya baru pulang dari pasar. Aku segera membantunya membawa barang belanjaan ke dapur.

""Itu pembantu kerja nggak becus. Sudah berkali-kali aku bilang untuk menutup pintu depan, tetapi selalu saja lupa. Sekarang aku suruh bikin kopi malah memecahkan alat penyeduh kopi."" Samar-samar aku mendengar Tuan mengadu pada istrinya. Ah, nasib tinggal di rumah orang.

""Penyeduh kopinya pecah ya, Mae?"" tanya Nyonya sambil menghampiriku.

""Iya, Nyonya. Maaf saya tidak sengaja.""

""Sudah terlanjur pecah, mau diapakan lagi? Kamu sapu dan bersihkan, jangan sampai ada pecahan kaca yang tertinggal. Apakah kamu terluka terkena pecahan kaca atau air panas?"" tanya Nyonya.

""Saya tidak apa-apa, Nyonya,"" jawabku.

""Sudahlah biar aku saja yang menyeduh kopi instan untuk Tuan. Kamu lanjutkan pekerjaanmu,"" kata Nyonya sambil mengambil cangkir Tuan yang sedari tadi di atas meja.

Begitulah, jika Tuan adalah api yang selalu siap menyala. Nyonya adalah air yang selalu siap mendinginkan suasana.

Aku sebenarnya kerasan tinggal di rumah ini, hanya saja Ama sangat cerewet soal makanan dan kerjaan. Ia tidak suka melihatku duduk walau hanya sebentar. Semenjak dulu sampai sekarang ia selalu pelit soal makanan. Kadang itu membuatku merasa tertekan.

""Mae, aku ingatkan kamu untuk tidak meminum susu segar di kulkas, kok kamu tidak menghiraukan. Susu itu mahal harganya!"" katanya pada suatu pagi.

""Aku tidak pernah minum, Ama. Sungguh!""

""Pembohong! Kalau bukan kamu siapa lagi? Orang di rumah ini tidak ada yang suka minum susu.""

Aku hanya mengelus dada, mencoba bersabar. Dan itu belum seberapa, ada lagi yang lebih parah. Seperti saat kami berdua makan siang bersama, karena majikan keduanya bekerja.

""Mae, itu perut ikan, kepala dan ekornya adalah bagian kamu. Karena di rumah ini tidak ada yang suka makan bagian itu,"" katanya saat melihat tanganku bergerak mengambil secuil daging ikan yang di goreng.

Aku hanya menahan sesak yang tiba-tiba memenuhi dada. Teringat ketika di Indonesia setiap kali makan aku selalu menyantap satu ekor ikan goreng utuh, atau ikan satu irisan besar.

Tempat tidurku di sini juga hanya selembar kasur tipis yang harus digelar terlebih dahulu jika aku mau tidur dan dilipat lagi setelah bangun pagi.

Namun aku berusaha tabah dan sabar demi mencapai cita-cita. Aku tidak pernah mengadu kepada siapapun tentang perlakuan Ama. Beruntung Nyonya pengertian, ia kadang memberiku uang untuk membeli makanan yang aku suka. Nyonya pun memberiku kebebasan untuk keluar ke pasar malam, atau ke toko indo membeli keperluan. Bahkan sebulan sekali, ia memberiku ijin cuti untuk liburan tanpa potongan gaji.

Karena liburan itulah aku mengenal Pram, seorang pemuda dengan tampang lumayan ganteng. Bermula dari sekedar tukar nomor telepon dan nama akun Facebook. Ternyata obrolan kami nyambung, selera kami pun sama. Aku mengenal Pram sebagai seorang lelaki yang romantis. Perhatiannya membuat hatiku yang selama ini tandus, seakan menjadi subur dan penuh bunga-bunga cinta.

Pram sudah lima tahun menjadi seorang kaburan, hal tersebut aku ketahui setelah hubungan kami kian akrab. Semenjak mengenal Pram, aku mulai jarang berkomunikasi dengan keluarga di Indonesia.

""Mae, kalau kontrakmu habis. Apakah kamu masih ingin bekerja lagi ke Taiwan?"" Nyonya Chen bertanya pada suatu hari.

""Saya belum tahu, Nyonya. Kemungkinan saya beristirahat dulu di kampung halaman,"" jawabku.

""Kalau kamu berubah pikiran, beritahu saya ya. Kembalilah ke rumah ini, kami sudah menganggapmu seperti keluarga sendiri,"" kata Nyonya Chen.

Aku hanya tersenyum. Padahal sebenarnya hatiku sedang kalut, karena Pram pindah kerja ke Tainan. Kami tidak akan bertemu lagi. Apa yang harus kulakukan?

""Kamu kabur saja, Mae. Supaya kita tetap selalu bersama."" Ide gila itu pernah terucap dari mulut Pram, saat kami sedang telepon online di sebuah jejaring sosial. ""Kamu juga bisa bekerja di restauran, dan gajinya lebih besar. Daripada kamu di situ. Mumpung belum selesai masa potongan.""

Cinta itu buta! Mungkin benar orang berkata. Aku tak lagi memikirkan anakku Bella dan keluarga di Indonesia yang setia menunggu. Aku benar-benar menuruti ucapan Pram.

Malam itu saat semua orang tertidur pulas, aku kabur dari rumah hanya dengan membawa tas punggung dan satu tas berisi pakaian.

Akhirnya perjuanganku untuk bertemu Pram di Tainan tidak sia-sia. Kami melewati hari bersama. Semuanya terasa indah. Apalagi Pram berjanji akan segera menikahku setelah tabungan kami terkumpul. Semenjak menjadi seorang kaburan aku bekerja serabutan. Sebagai buruh di industri rumahan, pekerja bangunan, tukang cuci piring di restauran. Dan semua itu harus kulakukan dengan sembunyi-sembunyi. Hasil kerjaku untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sedangkan uang hasil kerja Pram ditabung untuk biaya pernikahan kami.

Hingga pada suatu hari, aku bangun tidur dengan kepala pening dan tidak menemukan Pram di ruangan ini. Bahkan barang-barangnya juga telah raib. Aku berusaha mencarinya ke semua tempat yang biasa kami kunjungi, tetapi ia bagaikan hilang di telan bumi. Semua akun jejaring sosialnya juga tidak ada satu pun yang aktif. Saat itulah aku baru tersadar tentang apa yang sesungguhnya terjadi. Aku menangis tergugu-gugu menyadari semua kesalahanku, tapi semuanya terlambat!

Mau tidak mau aku harus bertahan sendirian untuk menjalani hidup. Dan di Taiwan dengan status sebagai pekerja ilegal ternyata bukan sesuatu hal yang mudah. Setiap hari masalah demi masalah datang menghampiri. Masalah keuangan dan tempat tinggal, majikan yang bertindak sewenang-wenang, juga ketakutan bila bertemu polisi. Ditambah lagi beberapa hari belakangan ini aku sering merasakan sakit pada daerah pinggul dan sakit ketika buang air kecil. Statusku sebagai seorang kaburan tidak memungkinkan untuk memeriksakan diri ke dokter. Aku hanya minum beberapa butir obat pereda nyeri yang aku beli di apotek.

Hingga pada suatu hari aku mengalami pendarahan secara spontan. Hal ini benar-benar membuatku takut. Aku yakin ada suatu penyakit yang bersarang dan menggerogoti tubuhku. Aku hanya bisa menebak-nebak, tanpa bisa berbuat apa-apa. Mungkinkah ini karma? Karena aku beberapa kali menggugurkan kandungan dengan minum ramuan obat-obatan yang diberikan oleh Pram.

Pram! Aku teringat kembali lelaki itu. Entah sekarang dia berada dimana? Meninggalkan aku seorang diri dalam derita berkepanjangan. Di saat seperti ini, tidak ada seorangpun yang bisa aku mintai pertolongan. Tiba-tiba aku teringat seseorang. Ia adalah Nyonya Chen.

********

""Siapa namamu?"" Polisi itu mulai menginterogasiku. Sedangkan seorang polisi lainnya tampak sedang berbicara dengan nyonya Chen.

""Nama saya Maesaroh,"" jawabku singkat.

Sesaat kemudian, polisi itu kembali memberiku beberapa pertanyaan. Aku merasakan keringat dingin keluar dari pori-pori kulit. Aku kembali merasakan sakit pada kedua paha. Mungkin penyakit itu sudah sedemikian hebatnya sehingga mengakibatkan salah satu pahaku terasa membengkak.

Melihatku meringis kesakitan, polisi itu berhenti menginterogasiku.

""Ada apa?"" tanyanya.

""Tolong, Tuan. Sepertinya saya mengalami pendarahan,"" kataku dengan  sedikit gemetar.

Polisi itu segera memanggil ambulan. Nyonya Chen ikut menemaniku ke rumah sakit. Aku sangat berterima kasih atas kebaikannya selama ini. Walaupun terkadang aku juga merasa malu mengingat perbuatanku kabur dari rumahnya waktu itu.

Peristiwa demi peristiwa berkelebat dalam anganku.

Setelah menghilang selama 2 tahun, aku kembali datang menemui Nyonya Chen untuk meminta bantuan. Statusku bukan lagi sebagai pekerja resmi, tetapi seorang kaburan. Dan Nyonya Chen masih bersedia memberiku tempat tinggal selama beberapa hari. Ia mau mengerti keadaanku. Hatinya sungguh mulia!

""Mae, apakah tidak sebaiknya kamu menyerahkan diri ke polisi. Supaya bisa mendapatkan pengobatan yang layak, sebelum penyakitmu semakin bertambah parah,"" saran nyonya Chen, karena melihat sakit yang kuderita tidak kunjung sembuh. Akhir-akhir ini nafsu makanku semakin berkurang, berat badan juga tidak stabil dan aku mulai susah buang air kecil.

Aku mengiyakan karena sadar keberadaanku di rumah ini bisa mendatangkan sebuah masalah besar bagi keluarga Chen. Sedangkan untuk menelepon agensi yang dulu, aku tidak berani. Bisa jadi bukan solusi yang ditawarkan, tetapi hanya omelan yang akan membuat aku lebih sakit hati.

Aku juga tidak bisa terus menerus meminta belas kasihan teman-teman. Karena mereka juga mempunyai tanggunggan sendiri. Akhirnya Nyonya Chen mengantarku menyerahkan diri ke polisi.

""Kita sudah sampai di rumah sakit, Mae,"" kata Nyonya Chen membuatku tersadar dari lamunan.

Setelah menjalani serangkaian pemeriksaan, aku diharuskan rawat inap di rumah sakit ini. Vonis dokter menyatakan bahwa aku terkena kanker mulut rahim stadium lanjut, dan harus segera dilakukan operasi.

Karena statusku sebagai imigran kaburan, membuatku selalu di bawah pengawasan pihak yang berwajib, namun setidaknya aku bisa sedikit bernapas lega, karena penyakit ini sudah ditangani oleh ahlinya. Walaupun aku tidak tahu darimana biaya pengobatannya. Semoga saja pemerintah melalui pihak imigrasi dan organisasi peduli tenaga kerja Indonesia yang berada di Taiwan bisa membantuku. Nyonya Chen sudah pergi, dan aku kini sendiri.

Mataku menatap para suster yang sedang memeriksa beberapa pasien yang sekamar denganku. Ruangan ini cukup ramai. Namun entah mengapa, pikiranku kosong. Sekarang aku baru merasakan penyesalan. Ibarat nasi sudah menjadi bubur. Andai dulu aku tidak memilih jalan ini, pasti aku sudah mempunyai tabungan dan sebentar lagi bisa hidup dengan tenang di Indonesia.

Saat ini tidak ada yang bisa aku berikan untuk Bella dan keluarga di Indonesia. Hanya sebuah pengalaman pahit ini yang akan aku ingat selamanya. Tentang kegagalan dan pengkhianatan.

Taiwan adalah sebuah negara yang menjanjikan. Membuat semua orang ingin mengadu nasib di pulau ini. Dan aku adalah salah seorang yang terjerumus ke dalam kehidupan bebas dan janji palsu seorang lelaki, sehingga melupakan cita-cita dan tujuan awal datang ke sini.

Tamat.

Taipei,  22-05-2015