Tapak Hijrahku

2015/5/28  / Syukur Nikmah / Tapak Hijrahku / Indonesia 印尼 / Tidak ada

Judul: Tapak Hijrahku
Oleh: Syukur Nikmah
    Aku terlahir dari keluarga yang sederhana, bisa mengenyam bangku SMA saja aku sudah sangat-sangat bersyukur. Mengingat aku adalah paling tua dari empat bersaudara. Adikku masih tiga dan mereka lebih membutuhkan biaya sekolah dibandingkan aku yang harus bersikeras untuk meneruskan pendidikan kuliah. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk bekerja di Taiwan. Sebenarnya orang tuaku tidak menyetujuinya, terutama ayah. Ia sama sekali tidak mengizinkan aku bekerja terlalu jauh sampai ke luar negeri, namun aku tak henti-hentinya merayu hingga ayah memberikan izin padaku. Pada akhirnya aku diperkenalkan kepada seorang PKL dari daerahku sendiri. Dia yang mengantarku ke balai latihan kerja luar negeri di daerah Malang.
    Aku merasa asing di sana, orang-orang yang sama sekali tak kukenal, pelajaran bahasa mandarin yang tak pernah aku pelajari sebelumnya. Hidup jauh dari orang tua membuat aku harus belajar lebih tegar dalam menghadapi masalah, dan menyelesaikan masalahku sendiri tanpa campur tangan mereka. Sesekali rindu orang rumah membuatku meneteskan air mata. Padahal ini baru jarak Ngawi Malang, tapi sudah terasa berat langkahku.
""Lalu bagaimana di Taiwan nanti?"" gumanku dalam hati.
Berbaur dengan banyak teman yang datang dari berbagai penjuru, bahasa yang berbeda, membuatku mulai terbiasa dengan dunia luar. Setelah menjalani proses selama empat bulan lamanya akhirnya aku terbang juga ke Taiwan, tempat yang terdengar membawa pencerahan masa depan untuk orang-orang yang lebih memilih bekerja dengan otot dibanding bekerja dengan otak dan ditemani robot-robot komputer. Tepat pada 21 Juli 2011 burung besi membawaku terbang mengarungi samudra melewati beberapa negara, hingga sampai pada negara tujuanku Taiwan.
   Petugas agensi menjemputku dari bandara. Aku gemetar setiap petugas itu melontarkan pertanyaan kepadaku, namun sebagai pemula mereka menilai aku cukup mampu berbicara, padahal sebenarnya aku gugup sewaktu menjawab dan jantungku berdetak tak beraturan.
   ""Ni chong na li lai?"" tanya petugas itu.
   ""Wo chong in ni lai."" sahutku.
   ""Ow Indonisia,"" sambutnya.
   ""She."" sahutku tanpa ragu.
   ""Ni lai ti er ce ma, ne me li hai ciang koi?"" tanyanya lagi.
   ""Wo ti yi ce lai, wo mei you lai kou Taiwan,"" hehehe jawabku sambil ketawa di kursi belakang.
Pertama kali saya bekerja di Taiwan di daerah Shin Yi Taipei City menjaga seorang nenek berumur 86 tahun bermarga Wang. Nenek masih bisa berjalan sendiri tanpa harus aku gandeng, hanya saja butuh orang yang melayani dia, menyiapkan makanan, dan menemaninya jalan-jalan. Dia sering mengajakku jalan-jalan bersama rombongan orang tua seumurannya. Hingga aku mengetahui lebih banyak tempat. Dan ternyata benar Taiwan itu indah, sangat indah. Namun aku sering mengalami problem dengan nenek. Ke tidak tahuan ku tentang bahasa menjadi penyebab utama masalah. Aku tak begitu mengerti bahasa ta'i hingga hampir setiap hari aku kena omelan nenek. Yang lebih parahnya, aku juga tak mengerti nenek marah karena apa. Memang kemampuanku dalam bahasa ta'i lebih rendah dibanding bahasa mandarin yang aku kuasai hingga nenek menyuruh menantunya datang memberi penjelasan padaku menggunakan bahasa mandarin. Aku benar-benar tak mengerti, tapi Tuhan masih berpihak padaku, nenek bisa bahasa Jepang, kebetulan aku sedikit menguasai kosa kata Jepang.
""Arigato gozaimatsu ?"" ucapku setiap pagi pada nenek
Semua ucapan aku ganti dengan bahasa Jepang seadanya, seperti memberi maksud mendengarkan radio aku menggunakan bahasa Jepang radio sambil tanganku menunjuk telinga dan radio itu. Televisi, lemari, kaca mata, handuk, topi, tas, sepatu, piring, supit, ikan, daging ayam, daging babi justru aku nenyuruh nenek mengucapnya dengan bahasa jepang. Bagiku ini lebih mudah karena aku lebih mengerti. Bahasa ini sedikit membantu nenek berkomunikasi denganku. Namun tetap saja jika aku benar-benar tak mengerti. Nenek meminta menantunya menjelaskan padaku dengan menggunakan bahasa mandarin. Ini merepotkan.
    Setelah kejadian itu dengan semangatku kutanyakan setiap kata yang sekiranya tak ku mengerti. Dan malam hari setelah pekerjaanku semua beres, dan nenek telah tertidur aku sempatkan melihat televisi, kupilih drama berbahasa ta'i, dari situlah aku mulai belajar bahasa. Baru tiga bulan saja aku sudah bisa lancar berbahasa ta'i, ini usaha yang maksimal. Majikanku sampai terheran-heran cepat sekali belajarnya. Jadi sekarang tak perlu kawatir bila nenek menyuruhku membeli sayur di pasar. Aku telah mengerti bahasa sayur-sayuran yang biasa kami makan di kesehariannya. Bagiku ini suatu rahmad dari Allah. Aku bisa dengan cepat menguasai bahasa yang banyak teman-teman BMI lain pikir ini bahasa yang sulit dipelajari.
    Mengetahui bahasa ada baik dan buruknya, baik karena aku lebih mudah berkomunikasi, buruknya aku tahu kejelekan mereka, omongan mereka di belakangku, menjelek-jelekkan aku. Sama sekali tak menghargai aku. Telingaku terasa panas mendengar mereka sedang berbisik tentangku. Ditambah nenek sering menuduhku mengambil uangnya. Aku jawab apa adanya ketika agensi dan majikanku datang memarahiku, aku bukan pencuri kenapa harus takut. Aku rasa dari awal nenek tidak suka padaku, dari cara berbicara, dan sikapnya acuh tak acuh padaku.
   ""Aku ingin pindah majikan!"" dengan berani ku katakan pada agensi.
   ""Ok, tapi aku pihak agensi tak mau lagi mengurusimu, kau ganti agensi lain!"" sahutnya cepat.
   ""Ok."" jawabku lantang.
   Entah siapa yang mengajariku bersikap seperti ini? ayah ku sama sekali tak mengajariku bertutur keras seperti tadi. Namun kehidupan yang membelajariku tentang kedewasaan, tentang membela harga diri, tentang menghargai air mata agar tak cengeng pada dunia.
   Lalu takdir menbawaku ke Chiayi, kota yang panas, jauh dari keramaian, sunyi, sepi, hanya dihuni dengan segelintir orang-orang lanjut usia. Pikiranku kacau, ini lebih parah lagi menekan batinku. Tak ada teman yang bisa kuajak bicara. Jobku menjaga kakek yang sudah pikun, yang kerjanya hanya tidur pada siang hari, dan kambuh tak bisa tidur di malam hari sampai matahari terbit. Ya begitulah setiap hari. Dunia baginya terasa terbalik. Tapi tidak denganku, siang hari aku harus membantu nenek bercocok tanam. Mereka mempunyai ladang yang sangat luas. Semua tugas harus aku selesaikan, dari menanam berbagai macam sayuran. Aku harus mencangkul tanahnya terlebih dahulu, membuatnya gundukan-gundukan. Satu, dua, tiga, empat gundukan tapi panjangnya hampir enam meter.
   ""Ya Allah,"" keluhku pada Tuhanku.
   Kulit yang dulu coklat bersih kini berwarna hitam legam terkena sengatan matahari. Setiap hari bergelut dengan tanaman, memetik ubi jalar, memetik asparagus sayuran paling mahal di Taiwan,. Memetik sawi, bayam, kangkung, gambas dan masih ada puluhan sayuran lainnya. Memetik saja mungkin semua orang mampu melakukannya dengan mudah. Namun aku, aku harus mengolah tanah itu kembali agar dapat ditanami sayuran baru. Aku angkat gagang cangkul tinggi-tinggi dan ku tancapkan ke tanah dalam-dalam. Ini sangat berat, namun aku yakinkan pada dunia aku mampu melakukannya. Setiap hari kami makan dari sayur yang kami tanam di kebun, dan sesekali anak perempuan nenek mengirim daging dan ikan dari Taipei untuk jatah makan kami selama satu bulan mengingat situasi tempat tinggal kami jauh dari keramaian, jauh pula dari pasar.
   Bertepatan ketika musim hujan badai dan disaat itu pula kacang tanah sudah siap panen, badai melanda Taiwan. Aku menolak bila harus hujan-hujanan di bawah hujan angin dan petir yang siap-siap menjilat payung yang sedang berada di kepalaku.
   ""Aku tidak mau Nek!"" tolakku dengan kesal.
   ""Kalau tidak dipanen bisa busuk di dalam tanah Ani!"" sahut nenek.
   ""Besok apa tidak bisa?"" tanyaku.
   ""Kalau angin badai bisa seminggu berturut-turut, kacang bisa membusuk,"" kata nenek.
   ""Ok."" sambil ku pakai jas hujan lusuh itu aku pergi hujan-hujanan. Aku menolak payung pemberian nenek karena aku takut tersambar petir dahsyat.
""Ini gila, ini benar-benar sudah gila."" gerutuku dalam hati. Aku duduk sambil tanganku memisahkan kacang tanah dari batannya.
    Di akhir pekerjaan yang sudah beres dan bersisa karung karung yang berisi kacang tanah yang masih lengkap dengan kulitnya aku bermain-main dengan hujan, aku lepas jas hujanku, aku tadahkan kepalaku di bawah guyuran air yang jatuh dari talang atap rumah dan langsung mengenai kepalaku yang dari tadi terasa panas karena perkataan nenek. Dinginlah sudah. Tak kusadari nenek tak suka dengan kelakuanku ini.
""Ani cepat mandi! jangan main air hujan, nanti sakit. Di sini tak ada dokter untuk berobat,"" bla bla bla oceh nenekku.
Tak kupikirkan ternyata nenek menceritakan kejadian ini pada majikan, dan majikan langsung menelepon agensi. Lagi-lagi agensi memarahiku dengan kata-kata yang sama persis diucapkan nenek tentang penolakanku memanen kacang tanah. Selang kemudian hari majikan memberitahuku untuk memberesi barang-barang dan kita akan tinggal lama di Taipei. Tak kusangka mereka meminta agensi menjemputku. Memang sebelum kejadian ini setiap harus membayar gaji perbulanku anak-anak nenek selalu meributkan tentang uang. Padahal mereka enam bersaudara. Hah sungguh terlalu. Saat aku dan agensi berpamitan dengan pihak majikan dan tak sengaja aku mendengar bincang-bincang mereka tentang pemindahanku dengan alasan tidak sanggup membayarku.
""Memperkerjakan pembantu bukan seperti laundry baju, kalau tidak mau ya tidak mau."" kata agensiku dengan kekecewaan.
   Dan kini aku menginjakkan kaki di Taoyuan, tepatnya daerah Neili. Tugasku menjaga kakek berumur 73 tahun yang habis operasi paru-paru, dan nenek 73 tahun namun masih sehat. Kakek mempunyai kebiasaan yang sangat aneh, suka mengomel, menggerutu tentang masa lalunya yang buruknya, tentang anak laki-lakinya yang bercerai dan harus mengurus dua anak perempuan, dan berkali-kali kakek selalu berkata dia ingin cepat mati. Setiap detik, setiap menit, setiap jam, setiap hari mulut kakek tak pernah sedetikpun berhenti berbicara sambil sesekali memukuli kepalanya. Memang anak laki-laki kesayangannya mempunyai kebiasaan buruk, suka minum-minuman keras seperti ayahnya. Bahkan sering membawa pulang teman minum bersama di ruangan dapur yang letaknya bersebelahan dengan kamar kakek. Sepanjang malam itu pula kakek tak mau tidur, mulutnya terus mengomel.
""Huhh, serasa telingaku mau pecah. Oh Tuhan."" gerutuku.
    Setiap kakek terus-terusan mengomel aku selalu membawa kakek pergi ke taman jalan-jalan. Karena aku kasihan melihat ama yang selalu bersedih setiap kakek berbicara masa lalunya.
""Dia suka mabuk,"" gerutu kakekku.
""Hemm, dulu bukankah kau juga begitu. Hingga lupa pulang."" sambut nenekku. ""Aku selalu khawatir memikirkanmu. Anakmu banyak, enam. Aku tak bisa menghidupinya kalau kamu tak pulang ke rumah karena kecelakaan atau kau mati karena minum terlalu banyak?"" nada nenek mulai meninggi.
""Dan kau jawab besok juga baik kembali. Apa kau masih ingat kata-kata itu?"" tanya nenek pada kakek.
Hahhh, langsung kubawa kakek keluar rumah. Aku tak ingin melihat nenek semakin sedih. Dia begitu baik padaku. Sangat baik dan menganggapku cucu sendiri. Aku sering bercerita pada nenek tentang masalah pribadi, tentang suka dukaku di Taiwan. Sampai tentang pacar aku juga meminta solusi darinya.
    Aku pandai memasak itulah pujian yang selalu terlontar ketika nenek dan kakek melahap masakan yang aku sajikan. Begitu pula kalau akhir pekan, semua keluarga berkumpul mereka selalu memuji-muji kerjaku baik, masakanku enak, semua rumah berlantai empat bersih tanpa debu. Karena itulah mereka sayang padaku dan menganggapku saudara sendiri. Namun ya kembali lagi tadi, setiap hari aku dijenuhkan karena sikap akong. Ngomel tidak jelas dari pagi membuka mata hingga malam kembali menutup mata. Aneh.
    Suatu hari kakek demam, dan segera dilarikan ke rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit kakek aneh. Meraung-raung seperti berubah menjadi sosok orang lain yang sama sekali tak mengenaliku. Tapi aku tetap menjaganya baik-baik. Saat kakek makan tetap saja mulutnya tak berhenti berbicara hingga dia tersendat oleh makanan yang sedang ia kunyah. Aku langsung berlari keluar memanggil dokter.
""Akong,"" isakku pada kakek.
""Akong kou she le,"" jawab dokter padaku.
""Pu khe neng?"" teriakku.
Jiwaku tertekan, aku merasa sangat bersalah pada nenek tidak mampu menjaga kakek baik-baik. Kasihan nenek. Kulihat dia sangat sedih.
    Malan ini aku pulang. Aku merasakan keadaan yang tak sama. Sepi tanpa suara omelan kakek bak detakan jam dinding yang tak pernah berhenti pagi, siang, malam. Malam ini pula aku tak berani tidur sendirian di kamar bekas kakek. Aku tidur seranjang dengan nenek. Mataku tak bisa aku pejamkan dan kulihat nenek juga tak tidur, Ia menangis sepanjang malam itu.
    Menunggu pengurusan jenazah kakek selama tiga minggu lalu aku proses majikan baru. Kebetulan suami dari adik nenek juga sakit parah dan memintaku menjaganya. Sesampainya disana aku memanggilnya dengan sebutan paman. Karena memang dia masih muda, 67 tahun. Ia sakit parah, kanker tulang sumsum belakang stadium 4. Aku yang mengantarnya setiap minggu suntik antibiotik untuk menghambat sel-sel kanker agar tidak menyerang saraf-saraf lainnya setelah menjalani pasca operasi pembuangan kanker yang bersarang di tulang punggungnya. Keadaannya mulai melemah. Sering dia muntah muntah sepulang injeksi. Dia muntah-muntah, dan seperti tak punya tenaga sama sekali. Dari badan yang dulu kekar tinggi besar, kini berubah menjadi kurus tulang berbalut kulit. Berat badannya turun drastis karena dia juga ditimpa stroke berkali-kali, infeksi paru-paru karena dulu sering merokok. Hahhh laki-laki, mending tak makan dari pada tak merokok. Sekarang tua baru tahu apa efeknya. Dahak yang tak habis-habisnya meski setiap hari ditepuk punggung dan disedot dahak.
     Ohhh kerjaku berat . Dari pukul 05:00 aku harus bangun menyiapkan obat dahaknya, hingga tepuk punggung dan sedot dahak. Kerja hingga larut malam. Aku sama sekali tak mengeluh dengan pekerjaanku, meski harus bangun pagi, dan bekerja hingga larut malam. Tak jarang aku pukul 02.00 a.m baru bisa memejamkan mata. Aku tak mengeluh.
""Kerjaan berat, kerjaan ringan toh juga sama-sama 24 jam. Kalau aku masih merasa sanggup itu tak masalah bagiku,"" gumamku dalam hati.
Makan makanan apapun asalkan tak pernah kelaparan akupun menerima. Tapi tak kusangka, majikan ini sangat pelit. Meski dia orang kaya, aku sering kelaparan. Tak mungkin hanya sarapan, makan siang, makan malam saja, orang normalpun juga merasakan lapar di antaranya. Namun aku telah janji di hadapan jasad kakekku dulu bahwa bila aku ganti menjaga orang lain aku akan menjaganya dengan baik. Itu janjiku dulu.
   Tak lama kemudian, dokter memvonis umur kakek tak lama lagi hanya diperkirakan setengah tahun saat kudengar percakapan majikanku dengan dokter. Aku juga merasakan kesedihan yang sama mendengar berita itu. Kenapa harus kematian yang akan aku dengar. Selang beberapa hari kakekku nafasnya mulai tersendat-sendat dan sesegera dilarikan ke ruang ICU. Jantungku berdetak kencang, aku takut terjadi sesuatu pada kakekku. Aku selalu berdoa tentang keselamatannya. Entah kenapa aku sangat iba melihat kondisinya. Banyak selang yang bersarang di tubuhnya, demi membantu dia agar tetap hidup. Kencing yang dibantu selang, cairan darah yang keluar dari ginjal karena goresan batu-batu yang bersarang puluhan tahun, nafas yang bergantung pada mesin, hingga makan juga memakai selang dihidungnya. Kakek tak bisa apa-apa. Bagaikan mayat yang masih bernyawa. Sekali ku pandang wajahnya. Dia sosok penuh kasih sayang.
""Kakek kamu harus kuat! kamu harus semangat!"" bisikku pada kakek sambil kupegangi tangan yang lunglai itu.
Aku selalu berdoa tentang keselamatannya, karena aku tak sanggup bila aku harus gonta-ganti majikan. Ini terhitung yang keempat kalinya. Aku selalu dihantui rasa takut, takut memiliki majikan jahat, kasar, pemukul, pemarah, aku takut semua itu.
""Bertahanlah Kek, sampai aku finish kontrak!"" pintaku pada kakek.