2015/5/27 / Bumiayu / TERIMA KASIH TAIWAN, NEGERI SEJUTA HARAPAN / Indonesia 印尼 / Tidak ada
TERIMA KASIH TAIWAN, NEGERI SEJUTA HARAPAN Aku benci mengapa orang Indonesia harus menjadi pembantu di luar negeri? Begitulah sinisnya pikiranku saat masih dalam zona nyaman, sekolah, tanpa perlu memikirkan bagaimana mendapatkan uang untuk bertahan hidup, yang kutahu hanya belajar. Sepertinya aku harus menjilat ludahku sendiri. Ketika lulus pendidikan Sekolah Menengah Atas(SMA), kehidupan baru dimulai. Aku mencoba mencari bantuan beasiswa S1 ke beberapa perusahaan besar di daerahku, namun melihat kondisi ekonomi keluarga terpuruk, akupun mengurungkan niatku. Selang beberapa hari di rumah, aku dilanda kebosanan dan memutuskan untuk melamar pekerjaan di toko baju. Puji Tuhan, aku diterima dan langsung berkerja. Namun aku masih kurang puas dengan apa yang aku kerjakan saat itu. Bangun pagi pukul 4 sudah harus antri mandi, pukul 7 toko baru dibuka dan terus berdiri sambil merapikan baju tidak lupa merayu pembeli. Kegiatan itu berlangsung hingga pukul 10 malam toko baru ditutup. Dan gaji yang kuterima sungguh mengecewakan, 200.000 rupiah(setara NTD700 waktu itu) perbulan hanya cukup untuk membeli keperluan mandi dan sedikit tabungan. A ku pikir jika terus seperti ini, rasanya hanya membuang-buang umur. Tidak banyak berguna! Dalam waktu dua bulan aku sudah minta keluar dan pulang ke rumah dengan rasa capek serta malu pada keluarga karena tak bisa bertahan lama. Hidup itu keras rupanya. Kembali aku harus memutar otak bagaimana aku bisa bekerja dan menghasilkan banyak uang untuk membantu orang tua serta ketiga adikku untuk biaya pendidikan mereka. Jika aku bisa bersekolah dengan gratis, karena beasiswa prestasi, berbeda dengan ketiga adikku, semua harus bayar. Apakah aku harus ke luar negeri saja, ya? Pikiran itu tiba-tiba muncul begitu saja. Sepertinya aku dipaksa Tuhan untuk belajar kehidupan yang sesungguhnya untuk tidak membenci sebelum mempelajari. Dengan berat hati aku mengorbankan cita-cita untuk menjadi Guru, maka berangkatlah aku ke tempat penampungan calon TKI untuk tujuan Taiwan. Sesampainya disana, semua biodataku mulai dari Akte Lahir, Kartu Keluarga, Ijazah Sekolah, dan KTP dipalsukan oleh pihak PJTKI(Penyalur Jasa Tenaga Kerja Indonesia) karena umurku yang masih 18 tahun tidak cukup memenuhi persyaratan calon TKI Taiwan. Aku adalah bagian dari ribuan remaja yang belum memenuhi kriteria umur untuk bekerja ke luar negeri. D alam waktu 7 minggu aku sudah terbang ke Taiwan. Senang karena bisa dengan cepat bekerja, takut karena membayangkan bagaimana jika aku dipulangkan sebelum waktunya karena tidak bisa bekerja dengan baik, dan sedih karena harus berpisah dengan orang-orang terkasih terutama keluarga. Rasa itu bercampur menjadi satu. Banyak harapan yang mengikuti setiap langkah hidupku. Bukan untuk siapa, hanya satu yaitu keluarga. Tepat akhir tahun 2007, pertama kali aku menginjakkan kaki di bumi Formosa. Rasa takjub pada setiap detail perjalanan mampu membuatku melupakan sejenak rasa penat dan capek hari itu. Taiwan sungguh mempesona. Tibalah dimana aku harus bekerja dan men-service majikan yang akan menggajiku setiap bulan. Sungguh diluar dugaan! Di dalam kontrak tertulis jika aku harus menjaga seorang nenek yang lumpuh, sedang kenyataannya aku dipekerjaan pada keluarga dokter mulai dari laupan seorang dokter gigi, laupaniang seorang suster yang juga asisten laupan, serta ketiga anaknya yang masih kuliah di bidang kedokteran. Aku bekerja membantu mereka mulai dari membersihkan klinik dentist milik sendiri, rumah baru berlantai lima, rumah lama berlantai 4, dan mobil-mobil yang mereka pakai harus dibersihkan setiap hari. Tangan dan kaki ini terus bergerak tanpa istirahat. Waktu makan itulah istirahat. Bagi mereka waktu adalah bekerja. Melihat aku duduk sebentar saja dengan cepat majikan menyuruhku bekerja. Masih banyak tugas tugas lain yang sengaja ditumpuk-tumpuk untuk aku kerjakan. Sampai sampai setiap bangun tidur badanku rasanya pegal semua, kaki ini kaku untuk berjalan, dan waktu itu musim dingin tanganku perih karna efek dari mencuci pakaian dengan tangan. Meski begitu aku tetap semangat dan memaksakan diri untuk bekerja dengan giat. Mengerti jika gaji yang diperoleh tinggi, maka intensitas kerja pun juga tinggi. Aku pikir semua TKW di Taiwan juga mengalami hal serupa dengan apa yang aku kerjakan. Iya, mungkin inilah wajah Taiwan. Bekerja harus keras! Rasanya hati ingin memberontak. Selalu ada yang salah dan kurang. Dan aku hanya tersenyum kecut mematuhi setiap instruksi majikan. Suatu hari aku merasakan sakit kepala, namun pekerjaan yang harus aku selesaikan masih menunggu untuk dikerjakan. Aku meminta izin untuk tidur siang sejenak, karena tidak kuat menahan sekelilingku yang seolah-olah berputar. "Laupaniang, aku ingin istirahat di kamarku sejenak. Kepalaku sakit. Apakah boleh?" tanyaku pada majikan yang saat itu duduk sambil membaca majalah. "Kamu jangan jadi pemalas, masih muda harus rajin. Kamu kesini digaji untuk bekerja." kata majikan ketus. Aku terdiam dan berlalu pergi mengerjakan pekerjaan. Menangis sambil menahan rasa sakit kepala dan sakit hati. Malam telah larut. Sambil merebahkan tubuh yang sudah lemas ini pikiranku tiba-tiba begitu kacau. Aku menangisi nasib ini. Sakit, namun tak dipedulikan. Setiap hari yang aku lakukan hanya bekerja. Kurasa tak sedikitpun terlintas di pikiran mereka, bahwa aku manusia, sama seperti mereka. Butuh istirahat. Aku sudah benar-benar capek hati, yang aku inginkan adalah udara segar diluar sana. Karena memang selama bekerja aku tidak diperbolehkan keluar rumah kecuali untuk membuang sampah dan mencuci mobil. Untuk sek edar menyapa dengan teman sesama Indonesia saja aku tidak diperbolehkan. Dunia apa ini? yang ada hanya bekerja, bekerja, dan bekerja selebihnya adalah keluhan. Mereka seperti tidak pernah puas dan selalu ada saja yang disalahkan. Tidak sekalipun majikan memberi kesempatan untuk berinteraksi dengan dunia luar. Segala akses ditutup. Alat komunikasi tidak punya, bahasa yang digunakan selalu bahasa inggris. Aku seperti mengalami kemunduran, tidak bisa berbahasa mandarin di negara yang berbahasa nasional mandarin. Batinku seolah memberontak dan ragaku mengaduh kesakitan. Tuhan, mampukah aku tetap seperti ini? Empat bulan sudah aku menjalani kehidupan seperti itu, yang makanpun tergantung belas kasihan mereka. Makan dengan duduk di kursi plastik yang sudah usang disudut samping kulkas dapur, aku melahap setiap yang disisakan untukku dalam satu piring. Aku benar-benar sedang dihukum Tuhan, atas perkataanku terdahulu yang pernah membenci pekerjaan TKI. Seiring berjalannya waktu aku semakin muak dengan setiap yang dikeluhkan majikan. "Kamu nanti selesai makan langsung cuci mobil satu jam setelah itu langsung bersihkan kamar mandi Tom, kacanya yang bersih jangan seperti kemarin." Perintahnya. "Laupaniang, aku belum selesai bekerja satu kenapa selalu ditumpuk-tumpuk seperti itu. Aku capek!" Kataku sedikit nada tinggi. "Ehhh, tidak biasanya kamu bicara tinggi seperti itu. Kamu tidak boleh bicara seperti itu. Aku setiap bulan memberimu gaji, sudah sewajarnya kamu bekerja. Kamu capek ikut saya?" Tanya majikan sambil berdiri mematung di dekat telepon dengan nada seolah mengancam. "Ya, aku capek. Aku ingin pulang saja!" Jawabku spontan sambil menangis dan beranjak pergi tid ak mau melihat wajah beringas majikan. Kudengar di lantai bawah, Laupaniang menelpon agency dengan seperti sedang bertengkar. Aku tidak peduli apa yang mereka bicarakan. Aku bergegas mengemasi barang-barangku dan bersiap-siap pergi. Tak lama kemudian agency yang juga masih kerabat dari majikan datang. Aku dipanggil dan dinasehati untuk jangan melawan majikan dan selalu menuruti apa yang diperintahkan. Kupikir aku segera dipulangkan. Aku semakin bingung, ingin pulang, tapi malu. Ingin bekerja, tapi? Ah sudahlah! Aku m enganggukkan kepala sebagai tanda aku masih ingin bekerja. Aku mengajukan syarat untuk memberiku sedikit waktu istirahat siang. Majikanpun menyetujui. Aku sedikit lega. Keesokan hari, ketika aku pergi untuk beristirahat, majikan sengaja memberiku beberapa pakaian untuk ku setrika, seolah tidak rela jika aku beristirahat. Hari demi hari pekerjaanku semakin diperbanyak dan aku merasakan hal itu disengaja. Aku sudah muak. Pagi-pagi benar sebelum majikan datang aku nekad membuka pintu gerbang dari dalam dan kabur ke kantor polisi. Ya, kantor polisi adalah tempat yang aman untuk berlindung. Begitulah pikirku saat itu. Melihat dunia luar hatiku merasa bahagia dan senang, tanpa memikirkan bagaimana reaksi majikan dan agency. Aku tidak peduli. Tuhan, aku menyukai udara kebebasan ini. Senyumku terus mengiringi setiap langkah kaki meski tanpa bekal uang sepeserpun karena memang selama bekerja disana aku tidak pernah memegang uang, hanya tanda tangan diatas lembaran nota gaji, begitulah setiap bulannya. Setelah berjalan lama hingga menjelang senja, tak juga kudapati kantor polisi. aku hampir putus asa. Tak lama kemudian kuamati papan bertuliskan POLICE. Apakah itu kantor polisi? Aku bergegas mendatangi tempat itu. Benar, banyak sekali orang berseragam polisi. Aku tersenyum lega. Beberapa dari mereka datang menghampiriku yang dari tadi hanya berdiri mematung. Mataku mulai berkaca-kaca. Seorang polisi yang sudah tidak muda lagi memberiku sebuah nasi kotak dan satu botol air mineral. Mungkin dia tahu jika aku kelaparan. S ambil menahan tangis, akupun memakan nasi kotak itu dengan rasa haru. Setelah kenyang barulah seorang polisi yang masih muda dengan dikelilingi para senior mulai membantuku memecahkan masalah. Mereka tahu jika aku tidak bisa berbahasa mandarin. "What's your name and your pasport number you know that?" "Julia. AK270123" Jawabku dengan jelas karena memang selama di penampungan TKI setiap orang harus hafal nama dan nomor paspor masing-masing. Tidak berapa lama kemudian seluruh data tentangku keluar. Mereka bilang aku tidak mempunyai masalah apapun apalagi berhubungan dengan illegal worker. Aku menjelaskan bahwa aku sudah kabur dari rumah majikan sejak dari pagi tadi dan bukankah mereka seharusnya menangkap dan memenjarakanku? Mereka langsung tertawa meski tak terlalu keras. "You still legal worker because you run away only one day. We can not to catch you. You need to run away 2 days or 3 days. But it's not good. What's your problem?" Akupun mulai menceritakan apapun yang kualami selama bekerja ditempat itu. Tak sedikit dari mereka yang menggelengkan kepala karena mungkin tidak percaya keluarga dokter yang berpendidikan tinggi malah memperlakukan pembantu seperti itu. Aku tak kuasa menahan tangis karena membayangkan betapa sakitnya aku memendam rasa ketidak-berdayaan seorang diri. Mereka, para polisi itu benar benar respect. Memberiku semangat dan motivasi untuk menyelesaikan masalahku dengan baik. Berkomunikasi dengan agency beserta majikan untuk bisa pindah majikan tanpa harus pulang dan itu diperbolehkan karena salah job. Aku mengiyakan dan mulai timbul harapan baru. Tidak perlu hidup di penjara atau pulang dengan tangan kosong, tetapi pindah majikan. Aku sangat berterima kasih atas perhatian mereka. Orang Taiwan yang ramah dan peduli. Malam itu juga majikanku dipanggil untuk menjemputku di kantor polisi. Entah apa yang ada di pikiran majikan saat itu. Ketika sampai di rumah, seolah-olah ada bom waktu yang meledak. Majikan memarahiku dengan nada yang tinggi. Aku hanya diam membisu. Semenjak kejadian itu aku tidak diperbolehkan ke rumah lama yang aku tempati, tetapi mulai hidup bersama majikan di rumah baru. Disana aku seperti burung dalam sangkar. Tidak ada lagi kesempatan untukku keluar rumah mencari pertolongan. Disana pula aku dipaksa untuk mengerjakan seluruh pekerjaan rumah sampai benar-benar higienis. Jika aku tidak menurut apa yang mereka perintahkan, majikan mengancam akan menuntutku karena peristiwa kemarin aku meninggalkan rumah dengan pintu terbuka. Aku merasa disudutkan. Suatu ketika majikan akan pergi ke Kanada untuk mengurus izin tinggal disana. Aku diberi kertas yang berisi catatan jadwal pekerjaanku selama satu minggu penuh. Mulai dari membersihkan lampu-lampu kristal, korden, cendela, rolling door, hingga mengecat setiap sudut kamar. Aku tertunduk lesu. Dengan cepat aku mengerjakannya agar bisa segera istirahat tidur dengan nyenyak. Tanpa kehadiran majikan, seberat apapun pekerjaan terasa ringan. Tibalah waktunya majikan pulang dan melihat hasil kerjaku. Bla bla bla.....segala bentuk komplinan dilontarkan. Memang sudah menjadi wataknya. Tidak bisa menghargai kerja keras pembantu. Di hari itu pula majikan menyuruhku mencuci pakaian kotornya selama di Kanada. Oh Tuhan, dua koper sekaligus. Satu hari penuh aku mencuci dengan tangan karena memang dilarang memakai mesin cuci kecuali selimut. Itupun masih sambil dikomplin. Aku benar-benar muak. Malam hari itu juga ketika majikan tidur lelap, aku nekad melompat dari taman lantai dua sampai kakiku ngilu karena menahan sakit. Tidak tahu harus kemana. Aku capek terus diperlakukan seperti itu. Akhirnya aku tidur diatas kursi taman yang tidak jauh dari rumah majikan. Meski banyak nyamuk namun aku senang merasakan udara luar. Tiba-tiba ada mobil polisi berpatroli. Aku segera bersembunyi di balik pohon. Setelah kurasa aman, aku berjalan mencari tempat bersembunyi. Terdapatlah sebuah bangunan yang masih dalam proses pengerjaan. Aku tidur di dalam bangunan tersebut dengan rasa aman. Pagi telah tiba, ketika aku masih bermimpi, seseorang membangunkanku. Sontak saja aku kaget dan meminta maaf. Orang itu adalah mandor yang pernah bekerja di Malaysia. Sungguh aku beruntung bertemu dengannya karena dia bisa berbahasa melayu, bahasa serumpun dengan Indonesia. Aku menceritakan bagaimana aku bisa tidur disana. Dia memberiku uang NTD1000 untuk bekal membeli makanan di jalan, dia bilang tidak bisa banyak membantu karena harus bertanggung jawab dengan pekerjaannya. Aku pun banyak berterima kasih dan mulai meninggalkan tempat itu menuju kantor polisi lagi. Ah...Aku lupa jalan menuju kesana. Aku tersesat. Dalam perjalanan aku bertemu dengan seorang TKI yang bekerja di rumah sakit Taichung. Begitu singkat perkenalan itu karena dia harus segera masuk untuk bekerja. Sebelum masuk dia memberiku sebuah kartu nama bertuliskan alamat Taichung Mosque. Bukankah yang dimaksud ini adalah masjid? Seolah tak percaya di Taiwan ada masjid. Belum sempat aku bertanya lebih, dia sudah hilang begitu saja. Entahlah! Aku memutuskan untuk pulang saja ke rumah majikan dan ingin sekali mengunjungi masjid agar aku bisa protes pada Tuhanku. Aku pulang dalam keadaan letih, majikan kaget melihatku pulang di siang hari. Mungkin dia pikir aku benar-benar kabur. Majikan masih tetap dengan siung di kepalanya, memerintahkanku untuk mengerjakan ini itu yang dari pagi tidak ada yang mengerjakan. Seperti biasa aku harus menurut. Ketika kulihat majikan sedang membaca majalah stylish aku memberanikan diri untuk minta diantar ke alamat yang ada di kartu nama kemarin. Aku bilang jika aku ingin libur dan butuh beribadah pada Tuhanku agar pikiranku tidak kacau. Majikan langsung mengiyakan dan membenarkan jika pikiranku kacau dan gila. Tepat hari Minggu aku diantar majikan ke masjid Taichung. Sesampainya disana aku ditinggal begitu saja dan dikasih satu lembar uang 500 an untuk cost pulang dengan taksi. Dengan catatan sebelum pukul 5 sore sudah harus sampai di rumah. Aku mengangguk saja. Masjid dengan kubah warna hijau begitu memukau. Aku seperti kembali ke tempat asal. Segera aku masuk tanpa menyapa orang-orang sekitar, aku malu karena pakaianku tanpa hijab. "Mbak, kok buru-buru. Mbak orang baru ya." tanya seorang wanita cantik dengan mata sipitnya. "Ii..i..ya, Mbaknya orang Indo ya?" tanyaku menegaskan. "Iya Mbak, sini tak kasih jilbab biar tambah cantik." Wanita itu menyodorkan sebuah jilbab hitam dan memakaikannya di kepalaku. Seketika itu juga aku menangis tersedu-sedu. Seolah tidak percaya banyak orang baik mengelilingiku. "Kenapa menangis, Mbak? Ada masalah apa? Coba cerita biar bisa kami bantu." kata wanita itu dengan suaranya yang lembut. Aku menceritakan semua permasalahanku dari yang ingin kabur hingga lompat dari taman lantai dua. Semakin banyak orang yang berkumpul mendengarkan ceritaku. Seorang Bapak yang ternyata adalah Ketua Pengurus Masjid Taichung segera membawaku ke ruang bawah tanah untuk menceritakan kejadian-kejadian yang aku alami. Rupanya hari itu adalah waktu dimana kegiatan rutin jamaah Masjid Taichung tepat diselenggarakan dengan menghadirkan pembicara dari KDEI ( semacam lembaga pemerintah Indonesia yang bertugas melindungi hak dan kewajiban tenaga kerja Indonesia di Taiwan). Pukul 4 sore ketika acara sudah mulai ditutup, aku dipertemukan dengan perwakilan KDEI untuk membantu menyelesaikan masalahku. Aku kemudian dibawa menuju Shelter Taichung yaitu tempat penampungan khusus untuk TKI bermasalah dan memerlukan proses bantuan hukum. Aku sangat senang sekali akhirnya ada titik terang dari perjuanganku selama ini. Namun aku belum diperbolehkan untuk tinggal di shelter karena belum ada bukti jika aku salah job dan diperkenankan ganti majikan. Aku disuruh untuk pulang terlebih dahulu dan menunggu satu minggu kemudian KDEI akan datang mengecek secara langsung pekerjaanku sesungguhnya. B elum juga satu minggu aku sudah sangat capek dan berani melawan majikan yang saat itu menuduhku memakan nasi merah miliknya. Aku menjawab setiap tuduhan tuduhan. Hingga majikan kewalahan dan menelepon agency. Begitulah gaya ancaman majikan dari dulu. Agency kemudian datang dan segera membawaku ke CLA Taichung. Kali ini majikan benar benar marah dan serius memulangkanku. Aku tidak boleh menyerah. Aku harus bisa melawan ketidak adilan. Di kantor CLA itu kami dipisahkan. Disana aku menceritakan semua yang terjadi dengan sejujur-jujurnya. Berharap mereka bisa membantuku agar tidak dipulangkan. Di ruangan lain majikan telah menandatangani surat kepulanganku. Banyak pasang mata kasihan menyaksikanku. Tiba-tiba dari arah belakang datanglah seorang lelaki yang ternyata Kepala CLA, menanyakan masalahku secara detail pada seorang penerjemah dan seketika itu pula meminta agar aku dibuatkan surat klaim dan mengantarkanku ke shelter Taichung untuk menuggu proses pengadilan. Aku kaget, itu artinya aku tidak pulang. Ya Tuhan, sungguh besar pertolonganMu. Masih banyak orang peduli kepadaku. Selang satu minggu tinggal di shelter, majikan akhirnya mau menandatangani surat pindah untukku dan semua gajiku sudah dibayarkan. Mungkin majikan tidak ingin direpotkan dengan adanya proses pengadilan yang menyita banyak waktu. Setelah selesai mengurus semua surat-surat penting, tibalah saatnya untuk mengikuti proses seleksi majikan. Ada kesempatan 6 kali untuk mengikutinya. Jika tetap tidak ada majikan yang mau, maka terpaksa aku harus pulang. Perjuangan belum selesai. Setiap aku mengikuti proses seleksi, agency lamaku selalu memprovokasi agency baru maupun majikan yang datang untuk tidak memilihku dengan alasan majikan lama tidak mau padaku karena aku suka melawan dan sering meminta libur. Aku mengetahui hal itu setelah seorang teman satu seleksi menjelaskan padaku mengapa tak satupun majikan mendekatiku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa karena keterbatasan bahasa mandarin yang aku kuasai. Aku berusaha menghubungi teman shelter yang sudah lebih dahulu mendapatkan majikan agar merayu agencynya untuk mengambilku. Alhasil, pada proses seleksi ke-5, ada agency dan seorang Akong mau mengambilku untuk membantu mengurus istrinya yang sudah(maaf) pikun. Aku segera mengiyakan dan berjanji akan bekerja dengan baik. Disamping mengurus Ama, aku juga ikut membantu memanen lemon, buah leci, dan juga buah kelengkeng meski tidak disuruh tetapi aku dengan senang hati membantu. Syukur Alhamdulillah, aku mendapatkan agency yang baik dan majikan yang sangat ramah, menganggapku seperti bagian dari keluarga sendiri. Tidak ada lagi sekat antara majikan dan pembantu. Makanpun dalam satu meja yang sama, saling bergurau dan bertukar pikiran. Karena perasaan saling menghargai dan saling membutuhkan pertolongan inilah yang membuat aku betah untuk tetap bekerja pada satu majikan. Terima kasih Taiwan atas pengalamannya. Jika bukan karena kejujuran dan keberanian, serta kepedulian orang-orang sekitar, mungkin aku tidak akan seperti sekarang. Dengan hasil kerja keras ke Taiwan aku mampu membuat kedua orang tuaku bangga memiliki anak sepertiku, bisa membangunkan sebuah rumah untuk keluarga serta membeli sebidang tanah untuk bercocok tanam. Dan sekarang memasuki tahun ke-8 aku bekerja disini, semoga ketika finish nantinya aku mampu membangun sebuah usaha bersama keluarga kecilku. Terima Kasih Taiwan, Negeri Sejuta Harapan.